Friday, January 28, 2011

Jender Dalam Hukum Kewarisan Islam


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Perempuan adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki kewajiban yang sama dengan lawan jenisnya dalam melaksanakan ketaatan kepada penciptaannya dengan demikian  perempuan sebagai bagian dari manusia seharusnya mendapat tempat yang adil dalam ajaran islam. Akan tetapi, dalam realitas sosial yang ada, ternyata perempuan masih menghadapi persoalan yang berat yang menyangkut eksistensinya sebagai makhluk. Dalam dimensi teologis dan sosiokultural. Dalam persoalan ini belum terpecahkan dan belum ditemukan alternatif penyelesaian yang bijak, bahkan cenderung menjadi polemik yang berkepanjangan antara para ulama /fuqaha.
Dalam masalah waris pun masih terdapat perbedaan di antara mereka, sebagian ulama masih berpegang teguh pada pemahaman tekstual dalil-dalil syar’i sehingga produk hukum yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan bunyi harfiah teks yang ada. Sebagian lagi berusaha memahami bunyi dalil syar’i secara kontekstual dengan mengaitkan unsur sosiokultural dan latar belakang adanya teks tersebut sehingga hukum yang dihasilkan pun terlihat lebih kompromis dan akomodatif terhadap perkembangan zaman.
Lalu, bagaimanakah posisi gender  dalam penerimaan hak warisnya dalam islam? Sedangkan kita diberi pengetahuan bahwa Islam mengajarkan persamaan, keadilan, dan kedamaian bagi umat manusia tanpa membedakan jenis kelamin, status sosial dan lain sebagainya. Itulah maha kasih Allah SWT dalam memuliakan makhluknya.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian gender?
2.      Bagaimana posisi gender dalam hukum kewarisan islam?

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Gender

Kata gender berasal dari bahasa inggris gender yang bermakna jenis kelamin.[1] Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.[2] Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial menyatakan bahwa masih terjadi ketidakjelasan atau kesalahpahaman dalam memahami konsep gender dalam kaitannya dengan usaha emansipasi kaum perempuan. Ketidakjelasan tersebut timbul disebabkan oleh kurangnya penjelasan tentang kaitan antara konsep gender dengan masalah ketidakadilan lainnya.[3]    
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara kata gender dan sex. Sex dalam bahasa inggris diartikan sebagai jenis kelamin yang menunjukkan adanya penyifatan dan pembagian dua jenis kelamin manusia secara biologis, yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagian feminis berpendapat bahwa pada dataran ini, ada garis yang bersifat nature, dimana laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik tertentu yang melekat pada masing-masing individu secara permanen, kodrati, dan tidak bisa dipertukarkan antar satu dengan yang lainnya.[4]
Sedangkan gender adalah suatu konsep tentang klasifikasi sifat laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminin) yang dibentuk secara sosio-kultural. Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, posisi, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dalam dataran ini, ada garis yang bersifat culnture, dimana ciri dan sifat-sifat yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan bisa saja dipertukarkan karena hal tersebut tidak bersifat kodrati.[5]  
            Dari pendefinisian di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya. Gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari segi non biologis.
            Sejarah perbedaan gender (gender defferences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara.
Melalui proses yang panjang tersebut sosialisasi gender akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan sehingga seolah-olah bersifat biologis dan tidak bisa diubah lagi. Perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan. Sebaliknya, melalui dialektika, konstruksi sosial gender tersosialisasikan secara evolusional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin.[6]  
            Lebih lanjut, Nasaruddin Umar dalam bukunya Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran menjelaskan tentang istilah-istilah yang sering digunakan al-Quran dalam mengungkapkan status gender seseorang. Identitas gender dalam al-Quran dapat dipahami melalui simbol dan bentuk gender yang digunakan di dalamnya.
Al-Rijal (jender laki-laki) dan al-Nisa’ (jender perempuan) adalah dua istilah yang sering digunakan al-Quran dalam mengungkapkan status gender seseorang. Kata al-Rojul dalam arti jender laki-laki dapat dipahami dari beberapa ayat al-Quran, diantaranya:
§  Q.S. al-Baqarah ayat 228
§  Q.S. al-Baqarah ayat 282
§  Q.S. al-Nisa’ ayat 32
§  Q.S. al-Nisa’ ayat 34
§  Q.S. al-Nisa’ ayat 75
§  Q.S. al-A’raf ayat 46
§  Q.S. al-Tawbah 108
§  Q.S. al-Ahzab ayat 4 dan 23
§  Q.S. Shad ayat 62
            Sedangkan kata al-Nisa’ dalam arti jender perempuan dapat dipahami dari beberapa ayat berikut ini:
§  Q.S. al-Nisa’ ayat 7
§  Q.S. al-Nisa’ ayat 32
            Kategori al-Rojul dan an-Nisa’ menuntut sejumlah kriteria tertentu yang bukan hanya mengacu pada jenis kelamin, akan tetapi juga mengacu pada kualifikasi budaya tertentu, terutama sifat-sifat kejantanan (maskulin) dan sifat kelembutan khas perempuan (feminin). Kedua kata ini digunakan untuk menggambarkan kualitas moral dan budaya seseorang. Berbeda dengan penggunaan lafadz al-Dzakar dan al-Untsa yang lebih berkonotasi kepada persoalan biologis (sex) semata sehingga kedua kata ini juga digunakan untuk jenis (species) lain selain bangsa manusia.[7]
Sebagai contoh, untuk memahami perbedaan istilah diatas adalah dengan melihat masalah persaksian yang dijelaskan dalam Q.S. al-Baqarah ayat 282. Pada ayat tersebut mengindikasikan bahwa tidak semua yang berjenis kelamin laki-laki mempunyai kualitas persaksian yang sama. Kata al-Rijal dalam ayat tersebut lebih ditekankan kepada aspek gender laki-laki, bukan kepada aspek biologisnya sebagai manusia yang berjenis kelamin laki-laki. Anak laki-laki di bawah umur, laki-laki hamba, dan laki-laki yang tidak normal akalnya tidak termasuk dalam kualifikasi saksi yang dimaksud dalam ayat tersebut di atas karena laki-laki terebut tidak memenuhi syarat sebagai saksi dalam hukum islam.
Sedangkan mengenai perbandingan persaksian seorang laki-laki yang sebanding dengan dua orang perempuan, menurut Muhammad Abduh adalah dapat dimaklumi karena tugas dan fungsi perempuan ketika itu hanya disibukkan dengan urusan-urusan kerumahtanggaan, sementara laki-laki bertugas untuk urusan-urusan sosial ekonomi di luar rumah. Bukannya perempuan lemah ingatan dan kecerdasannya dibanding laki-laki. [8]

B.     Jender Dalam Hukum Kewarisan Islam
Hukum waris Islam merupakan jawaban atas praktek hukum waris yang sudah dilakukan oleh bangsa-bangsa sebelum Islam, diantaranya bangsa Persia, Romawi, Dan Yunani. Lebih khusus lagi, hukum waris Islam datang untuk membenahi praktik waris masyarakat Jahiliah. Semua praktek waris pada masa tersebut tidak pernah memberikan bagian kepada wanita. Bahkan dalam satu riwayat disebutkan bahwa dalam tradisi masyarakat Arab apabila ada seorang laki-laki meninggal dan meninggalkan janda, maka ahli warisnya akan melemparkan pakaian kepada sang janda tersebut agar orang lain tidak mengawininya. Seandainya janda tersebut cantik maka ahli waris akan segera mengawininya. Namun, apabila janda tersebut jelek maka dia akan ditahan sampai meninggal dan kemudian harta peninggalannya diwarisi oleh ahli warisnya. [9]
Mengenai hukum warisan islam, al-Quran dengan tegas menyatakan bahwa bagian ahli waris perempuan adalah setengah dari ahli waris laki-laki. Salah satu redaksi ayat al-Quran yang menjelaskan masalah tersebut adalah Q.S. an-Nisa’ ayat 11 yang sebagian berbunyi:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# …..
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan………..
Pemberian bagian ahli waris berdasarkan perbandingan ini belakangan mulai dipertanyakan komposisinya mengingat dinamika masyarakat saat ini sangat jauh berbeda dengan masyarakat sewaktu ayat-ayat tentang waris turun. Kebudayaan dan peradaban masyarakat saat ini sudah mengalami perubahan yang sangat pesat sehingga hukum waris yang telah digariskan ajaran islam dengan perbandingan 2:1, menurut sebagian orang dianggap kurang relevan.
Secara mendasar perbedaan jenis kelamin tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Artinya laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak yang sama kuat untuk mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas disebutkan dalam surah An-Nisa’ ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hak mendapatkan warisan. Pada surah an-Nisa’ ayat 11-12, 176 secara rinci telah menerangkan kesamaan kekuatan hak warisan antara laki-laki dan perempuan, ayah dan ibu (ayat 11), suami dan istri (ayat 12), saudara laki-laki dan perempuan (ayat 12 dan 176).
Tentang jumlah bagian yang didapat oleh laki-laki dan perempuan terdapat dua bentuk.[10]
·         Pertama: laki-laki mendapat jumlah yang sama banyak dengan perempuan, seperti saudara laki-laki dan saudara perempuan sama-sama mendapatkan bagian 1/6 dalam kasus pewaris tidak memiliki ahli waris langsung atau bapak dan ibu sama-sama mendapatkan 1/6 dalam keadaan pewaris meninggalkan anak kandung.
·         Kedua: laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat dari yang didapatkan perempuan. Hal ini dapat dijumpai dalam kasus pewaris meninggalkan ahli waris seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan atau dalam kasus pewaris meninggalkan ahli waris seorang saudara laki-laki dan perempuan.  
Dilihat dari segi jumlah bagian memang jelas tidak sama, tetapi ini bukan berarti tidak adil karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat ketika menerima hak waris tetapi juga dikaitkan dengan kegunaan dan kebutuhan.
Menurut pandangan Islam, pembagian harta warisan yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan ini tetap adil karena secara umum, laki-laki membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan perempuan, hal ini karena laki-laki baik itu seorang bapak atau saudara laki-laki memikul kewajiban ganda yakni untuk dirinya sendiri dan keluarganya termasuk perempuan
Muhammad Ali al-Shobuni berpendapat bahwa landasan perbandingan 2:1 dalam hukum waris islam mempunyai beberapa alasan filosofis, diantaranya sebagai berikut:
·         Kaum perempuan selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya. Nafkah perempuan wajib dipenuhi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang mampu diantara kerabat laki-lakinya.
·         Kaum perempuan tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapapun, sedangkan laki-laki berkewajiban memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya.
·         Kaum laki-laki berkewajiban memberi mahar kepada istrinya dan menyediakan segala kebutuhan rumah tangga, pendidikan anak, pengobatan anggota keluarga, dan lain sebagainya.[11]

C.    Analisis
Persoalan mengenai kontroversi pembagian 2:1 dalam waris islam memang agak rumit karena menyangkut persoalan Qoth’i dan Dzanni. Dalam terminologi Ushul Fiqh, pengertian Qath’i mengandung makna sesuatu yang meyakinkan dan absolut. Sedangkan pengertian Dzanni mengandung makna sesuatu yang relatif, dugaann, dan tidak meyakinkan. Qoth’i dan Dzanni ini kemudian dilihat lagi dari dua aspek yakni garis aspek al-Tsubut (otentisitas) atau al-Wurud (validitas) dan al-Dilalah (penunjukan terhadap hukum). Oleh karena itu, apabila suatu nas dikatakan sebagai Qath’i al-Tsubut atau Qath’i al-Wurud maka nas tersebut dapat dikatakan sebagai dalil yang valid dan otentik. Ia benar-benar didasarkan atas sumber yang memiliki otoritas, tidak tereduksi dan tereliminasi oleh apapun.[12]  
Adapun dalil apabila dikatakan sebagai Dzanni al-Tsubut atau Dzanni al-Wurud bukan berarti dalil tersebut tidak valid atau otentik, melainkan dalil terebut merupakan dalil yang menguatkan satu dari dua hal yang samar[13]       
Sementara Qath’i al-Dilalah berarti suatu dalil yang menunjukkan suatu makna tertentu yang bisa dipahami secara tekstual dan tidak mungkin untuk ditakwilkan dan dalil tersebut tidak mengandung pemahaman lain selain dari makna dasarnya.[14]                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
               Adapun Dzanni al-Dilalah adalah dalil yang menunjukkan pada suatu pengertian yang memungkinkan adanya takwil (interpretasi lain) atau dipalingkan dari makna dasarnya. Dalam konteks al-Quran disepakati bahwa dari segi Wurud dan Tsubut, al-Quran termasuk dalil yang Qath’i al-Tsubut dan Qath’i al-Wurud karena al-Quran benar-benar wahyu Allah. Meskipun demikian, dari segi dilalah lafadznya (penunjukan lafadz atas suatu hukum), ayat al-Quran ada yang yang berstatus Qath’i dan ada pula yang berstatus Dzanni. Oleh karena itu, apabila ada ayat al-Quran yang mempunyai status Qath’i al-Tsubut dan Qath’i al-Wurud serta Qath’i pula dalalahnya maka ayat terebut harus dipahami dan dijalankan sama persis dengan bunyi tekstualnya. Dalam hal ini, Abdul Wahab Khalaf  berpendapat bahwa ayat-ayat yang berkaitan dengan harta waris, had dalam hukuman qishas, ternasuk ayat-ayat yang Qath’i al-Tsubut, Qath’i al-Wurud, dan sekaligus Qath’i al Dilalah. [15]
                 Akan tetapi, dalam sejarah pemikiran hukum islam pada masa sahabat, ada sahabat yang pernah menjalankan suatu keputusan hukum yang menyalahi bunyi tekstual ayat, meskipun ayat tersebut berstatus  Qath’i al-Tsubut, Qath’i al-Wurud, dan sekaligus Qath’i al Dilalah. Sahabat tersebut adalah Umar bin Khattab. Diantara keputusan hukum yang dibuat beliau adalah berkenaan dengan had bagi seorang pencuri. Dijelaskan dalam Q.S. al-Maidah ayat 38
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ    
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Meskipun bunyi redaksi ayat dengan jelas menegaskan bahwa had bagi pencuri adalah dengan dipotong tangannya, akan tetapi dengan pertimbangan keadaan masyarakat pada masa itu yang sedang dilanda paceklik, sahabat Umar tidak menerapkan had bagi pencuri tersebut.     
            Pertimbangan keadaan masyarakat yang menyebabkan sahabat Umar tidak menerapkan had bagi pencuri, mungkin juga dapat dijadikan pertimbangan untuk memodifikasi hukum waris. Realitas masyarakat Indonesia pada saat ini menunjukkan bahwa banyak perempuan yang mengambil alih peran laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga. Artinya, banyak keluarga yang tulang punggung perekonomiannya adalah perempuan. Oleh karena itu, penerapan hukum waris di Indonesia bisa bersifat fleksibel. Hal ini terbukti dengan munculnya konsep harta bawaan, harta gono-gini, dan perdamaian waris dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
            Mengutip pendapat Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa untuk memahami al-Quran diperlukan pemahaman sosiohistoris, dengan asumsi bahwa setiap generasi menghadapi situasi sendiri dan bebas melakukan interpretasi atas al-Quran dengan menekankan pada hal-hal yang bersifat ideal dan prinsip serta mengembangkan kembali dalam bentuk segar dengan sejarah kontemporer mereka sendiri. Upaya merekonstruksi pemahaman bukan merupakan hal yang tabu sebab latar belakang sejarah dan sosial turunnya teks tersebut sudah berbeda dengan masa sekarang karena setiap generasi menghadapi situasi berbeda akibat perbedaan waktu dan geografi.[16]        

KESIMPULAN

            Hukum waris islam sangat berdimensi sosiohistoris karena hukum waris  tersebut lahir sebagai respon islam atas kondisi masyarakat saat itu yang bertindak zalim dan tidak adil terhadap perempuan dalam hal pembagian warisan.
            Aturan yang cukup rinci yang ada pada waris islam diyakini sebagai suatu dalil yang mempunyai status Qath’i al-Tsubut, Qath’i al-Wurud, dan sekaligus Qath’i al Dilalah. Oleh karena itu, ada ulama yang berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum waris islam harus dijalankan sesuai dengan bunyi teksnya. Penyimpangan dari bunyi tekstualnya berarti merupakan pembangkangan terhadap ketentuan Allah S.W.T.
            Meskipun demikian, masih ada celah untuk menerapkan ketentuan waris islam yang lebih fleksibel dan kompromis terhadap perubahan struktur sosial yang terjadi dalam masyarakat. Melalui metode Maqashid al-Tasyri’ yang oleh imam al-Syatibi dikatakan bahwa syariat bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat serta melalui substansi keadilan yang terkandung dalam ketentuan hukum waris islam, bisa saja formula 2:1 yang digariskan hukum waris islam diterapkan menjadi 1:1.


[1] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, cet. XXV, 2003), hal. 265
[2] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 33
[3] Mansour Fakih, Gender dan Transformasi Sosial, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar: 2004), hal. 7
[4] Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hal. 19
[5] Ibid
[6] Mansour Fakih, Gender dan Transformasi Sosial.................hal. 9
[7] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan............hal. 145
[8] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan............hal. 148
[9] Pusat Studi Gender (PSJ) IAIN Walisongo, Bias Gender dalam Pemahaman Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal. 182
[10]Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an, Hal. 74
[11] Muhammad Ali al-Shobuni, al-Mawarits fi al-Syariah al-Islamiah ‘ala Dzau’ al-Kitab wa al-Sunnah, terj. A.M. Basmalah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 19
[12] Pusat Studi Gender (PSJ) IAIN Walisongo, Bias Gender..............hal. 184
[13] Ibid
[14] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Darul Qalam, 1978) hal. 35
[15] Pusat Studi Gender (PSJ) IAIN Walisongo, Bias Gender..............hal. 185

[16] Pusat Studi Gender (PSJ) IAIN Walisongo, Bias Gender..............hal. 187

No comments:

Post a Comment