PENDAHULUAN
Hukum adat adalah hukum yang lahir, hidup dan berkembang di kalangan masyarakat Indonesia asli dalam bentuk yang tidak tertulis. Adapun sifat perkembangannya adalah dinamis dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan juga bersifat elastis yang artinya mudah menyesuaikan diri dengan peristiwa-peristiwa hukum yang timbul dari perkembangan masyarakat tersebut. Hal tersebut juga berlaku bagi hukum waris adat di Indonesia.
Namun sesuai dengan perkembangan dan kemajuan jaman, status kewarisan hukum adat mengalami perubahan pada beberapa bentuk pelaksanaannya dikarenakan adanya beberapa faktor, salah satunya adalah karena pengaruh ajaran agama dan adanya keputusan MK mengenai perkara waris adat yang terjadi di beberapa daerah dengan pokok permasalahan yang sama namun berbeda bentuk keputusannya antara satu daerah dengan daerah yang lain.
Sehingga dalam makalah ini yang akan menjadi fokus pembahasan adalah pengaruh serta perkembangan kewarisan adat oleh 2 faktor yaitu faktor pengaruh agama dan faktor perubahan dan perkembangan waris adat dengan adanya keputusan MK. Kedua faktor tersebut sangat mendominasi perkembangan dan perubahan kewarisan adat pada jaman sekarang ini. Dan hanya menjadikan beberapa daerah sebagai objek tempat yang mengalami perkembangan dan perubahan, karena di Indonesia sendiri terdapat banyak daerah dengan suku atau ras yang berbeda dan tidak memungkinkan semuanya dijabarkan dalam makalah ini.
PERMASALAHAN
masalah hukum adat waris tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan tentang hukum adat kekeluargaan, karena sistem kekeluargaan yang dipergunakan membawa akibat kepada penentuan aturan-aturan tentang warisan. Di samping itu, peranan agama yang dianut tidak kalah pentingnya pula dalam penentuan aturan-aturan tentang warisan karena unsur agama adalah salah satu unsur hukum adat, begitu juga dengan keberadaan keputusan ataupun ketetapan MA dalam berbagai kasus yang bervariasi di setiap daerah.
Hal ini mengakibatkan pula bahwa meskipun hukum adat kekeluargaan contohnya di Bali menganut sistem patrilineal, tetapi dalam pelaksanaannya berbeda dengan daerah-daerah lain yang juga memakai sistem patrilineal, seperti halnya di Batak.[1] sehingga dengan adanya perbedaan seperti itu menimbulkan permasalahan tersendiri dan yang mana keputusannya hanya bisa diproses melalui jalan hukum. Dan hasil keputusan dari masalah tersebut menjadi yurisprudensi di MA dalam menindak lanjuti perkara selanjutnya. Dan dengan sendirinya mengakibatkan perubahan bentuk hukum adat itu sendiri.
Peran agama sebagaimana disebutkan tadi sangat berpengaruh dikarenakan sebagian bentuk hukum waris adat ada padanya unsur atau kaidah yang sesuai dengan hukum agama islam
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Hukum Waris Adat Dengan Adanya Keputusan MA
1. Ahli waris
Yang dimaksud dengan ahli waris sebelum kemerdekaan adalah mereka yang memiliki hubungan darah dengan pewaris. Dengan demikian pengertian ahli waris selalu dikaitkan dengan hubungan darah. Akibatnya janda bukan menjadi ahli waris karena tidak mempunyai hubungan darah dengan suaminya. Tetapi MA dengan keputusannya 23 Oktober 1957 No.130 K/Sip/1957 menetapkan bahwa janda dari pewaris dengan anak-anak bersama-sama berhak atas harta warisan almarhum suaminya. Meskipun MA belum menggunakan istilah “ahli waris” bagi seorang janda namun di sini terlihat perkembangan dalam hukum waris adat khususnya tentang kedudukan seorang janda.
Menurut putusan ke III dari Raad Yustisi Jakarta dahulu, tanggal 17 Mei 1940 bahwa barang pusaka jatuh kepada silsilah ke bawah. Apabila peninggal harta tidak punya anak maka harta kembali ke tangan silsilah famili, dengan kata lain istri tidak dapat atau tidak berhak atas warisan tersebut.[2]
Kemudian pada tahun 1958 MA menetapkan bahwa janda memiliki hak mewarisi separuh harta gono-gini dengan keputusannya tanggal 25 Februari 1958 No. 387 K/Sip/1958. Kemudian status janda sebagai ahli waris dari almarhum suaminya ditetapkan MA pada tahun 1960. Keputusan MA tersebut menunjukkan perkembangan menguatnya kedudukan janda dalam keluarga.
a. Daerah Yogyakarta.
Di daerah Yogyakarta seorang janda juga mengalami perkembangan dan mewarisi harta dari suaminya. Bahkan para istri mempunyai kedudukan yang sederajat dengan anaknya ketika suaminya meninggal. Bahkan sekarang banyak orang mengasuransikan jiwanya jika yang menjadi tertanggung adalah suami, di dalam polis yang di tunjuk sebagai orang yang akan memperoleh keuntungan adalah ahli warisnya yang tidak lain adalah anak dan istrinya. . Dan jika harta warisan tersebut berupa uang simpanan uang (deposito) di Bank yang hanya boleh di bayarkan kepada ahli waris, sehingga istri berhak menerima uang tersebut.
b. Daerah Negara (Bali)
Menurut hukum Adat Bali yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria dan pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki. Hal ini berdasarkan Putusan Mahkamah Agung : _ol. 3 –12-1958 No. 200 K/Sip/1958.
2. Kedudukan janda/duda (balu) terhadap suami/istri.
Sesungguhnya kedudukan balu sebagai waris atau bukan waris dipengaruhi oleh sistem kekerabatan dari masyarakat yang bersangkutan dan bentuk perkawinan yang berlaku diantara mereka. Ada balu setelah teman hidupnya wafat namun belum bebas menentukan sikap tindaknya oleh karena itu ia harus masih menetap di tempat kerabat suami atau istri. Dan ada yang dapat kembali ke kerabat asalnya dan atau bebas menentukan pilihannya untuk menikah lagi atau tidak.[3]
a. Daerah Bojonegoro
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung : _ol. 24-1-1960 No. 302 K/Sip/1960 menyatakan dengan alasan bahwa seorang janda perempuan merupakan ahli waris terhadap barang asal dari suaminya dalam arti bahwa sekurang-kurangnya dari barang-barang asal itu sebagian harus tetap di tangan janda sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal atau kawin lagi, sedang di beberapa daerah Indonesia di samping ketentuan ini mungkin dalam hal barang-barang warisan amat banyak harganya, janda berhak atas bagian warisan seperti seorang anak kandung.
b. Daerah Blitar
Seorang janda bila ia memerlukan untuk penghidupannya dapat menguasai barang-barang tinggalan mendiang suaminya selama hidup dan tidak kawin lagi. Hal ini berdasarkan Putusan Mahkamah Agung : _ol. 19-10-1960 No. 307 K/Sip/1960.
c. Daerah Tulungagung.
Dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan seorang janda dengan 5 orang anak, yang menjadi akhli warisnya adalah janda dan kelima orang anak itu dengan masing-masing berhak atas bagian yang sama dari harta warisan. Hal ini berdasarkan Putusan Mahkamah Agung : _ol. 22-6-1961 No. 140 K/Sip/1961.
3. Hukum waris yang berlaku menurut keputusan MA.
a. Daerah Makassar.
Mahkamah Agung menganggap sebagai hal yang nyata di seluruh Indonesia bahwa dalam hal warisan pada hakikatnya berlaku Hukum Adat, yang di daerah dengan pengaruh agama Islam yang kuat sedikit banyak mengandung unsur-unsur hukum Islam.
b. Daerah Jakarta
Karena tidak terbukti bahwa dalam hal warisan disini (daerah Jakarta) hukum Islam telah diterima dalam hukum Adat, dalam hal ini harus diperlakukan hukum Adat.
c. Daerah Kabanjahe.
Hukum Adat yang harus diperlakukan adalah hukum Adat yang berlaku pada saat dilakukan pembagian warisan jadi hukum Adat yang berlaku pada dewasa ini, bukannya hukum Adat yang berlaku sewaktu meninggalnya orang yang meninggalkan warisan. (Putusan Mahkamah Agung : _ol. 24-2-1971 No. 782 K/Sip/1970).
B. Pengaruh Ajaran Agama Islam Dalam Hukum Kewarisan Adat.
Perkembangan hukum adat terjadi, salah satunya disebabkan adanya hukum atau peraturan-peraturan agama. Pada awal masuknya Islam ke Indonesia, nilai-nilai hukum agama Islam dihadapkan dengan nilai-nilai hukum adat yang berlaku, yang dipelihara dan ditaati sebagai sistem hukum yang mengatur masyarakat tersebut. Sebagai contoh, hukum kewarisan sudah ada dalam hukum adat sebelum Islam memperkenalkannya. Sehingga pada akhirnya, proses penerimaan hukum kewarisan Islam sebagai sistem hukum berjalan bersama dengan sistem hukum kewarisan adat. Di satu pihak hukum kewarisan Islam menggantikan posisi hukum kewarisan adat yang tidak islamiyah dan di pihak lain hukum kewarisan adat yang tidak bertentangan dengan hukum kewarisan Islam mengisi kekosongan hukum kewarisan sesuai budaya hukum yang berlaku d lingkungan adat masyarakat.[4] Dan lambat laun, hukum kewarisan adat dalam hal tertentu digeser posisinya oleh hukum kewarisan Islam . dengan demikian, hukum kewarisan Islam menjadi hukum kewarisan adat dan dalam lain hal yang tidak diatur oleh hukum kewarisan Islam atau tidak bertentangan dengan hukum kewarisan Islam, maka hukum kewarisan adat itu tetap berlaku.
Adapun persesuaian dan perbedaan antara hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat dalam pelaksanaannya di luar dan di dalam Pengadilan Agama dapat dilihat dari tinjauan terhadap Kabupaten Donggala. Dalam kabupaten Donggala terdapat persesuaian antara hukum kewarisan adat dan hukum kewarisan Islam dalam beberapa asas hukum mengenai pewaris ahli waris, harta warisan, pengalihan harta, dan bagian masing-masing ahli waris. Hal tersebut dapat diklasifikasi sebagai berikut.[5]
1. Kedudukan orang tua
Kedudukan orang tua, baik ayah maupun ibu dalam pelaksanaan hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adatdalam lingkungan adat masyarakat muslim yang mendiami kabupaten Donggala disebut pewaris bila mereka (ayah dan ibu atau keduanya) meninggal dunia, dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada kepada anaknya yang masih hidup. Penentuan anak sebagai ahli waris didasari oleh hubungan kekerabatan.
2. Kedudukan Anak
Kedudukan anak baik laki-laki maupun perempuan di dalam pelaksanaan pmbaggian harta warisan merupakan ahli waris kelompok utama. Sengketa yang terjadi disebabkan harta warisan dikuasai oleh saudara dan keponakan atau putusan pengadilan negeri dan pengadilan agama di kabupaten Donggala, menetapkan bahwa anak sebagai ahli waris dari orang tuanya.
3. Kedudukan harta asal
Mengenai kedudukan harta asal nila pewaris meninggal dunia tanpa anak, melainkan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari orang tua (ayah ibu) dan suami atau istri. Dalam hal harta warisan menjadi sengketa, karena dikuasai oleh salah seorang atau beberapa orang ahli waris atau dikuasai oleh orang yang tidak berhak mendapat harta warisan maka penyelesaian kasus demikian dilakukan dengan cara hakim melihat silsilah pewaris, bukti-bukti surat yang menguatkan barang sengketa, dan saksi-saksi dari penggugat dan tergugat. Putusan peradilan negeri dan pengadilan agama kabupaten Donggala menetapkan bahwa harta asal atau harta bawaan menjadi harta warisan bagi ahli waris dari orang yang meninggal dunia.
4. Kedudukan pengalihan harta melalui wasiat
Mengenai kedudukan pengalihan harta melalui wasiat pewaris kepada salah seorang atau beberapa orang ahli waris yang tertentu. Dalam hal harta warisan menjadi sengketa, karena dikuasai oleh salah seorang atau beberapa orang ahli waris, maka penyelesaian kasus demikian dilakukan dengan cara hakim melihat silsilah pewaris, bukti-bukti surat wasiat mengenai persetujuan ahli waris lainnya. Apabila terdapat ahli waris yang tidak menyetujuinya dan menggugat ke pengadilan untuk mendapatkan harta warisannya, maka hakim membatalkan wasiat dan menetapkan pembagian hak warisan kepada seluruh ahli waris. Putusan pembatalan wasiat yang demikian, diuraikan bahwa wasiat yang dilakukan oleh seseorang kepada ahli waris tertentu tanpa persetujuan ahli waris lainnya dibatalkan oleh hakim.
5. Kedudukan hak ahli waris
Dari data yang diteliti melalui pengadilan negeri dan pengadilan adama di kabupaten Donggala ditemukan kedudukan hak ahli waris dalam pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris melalui musyawarah di antara merekam kemudian disahkan oleh hakim dalam bentuk putusan Akta Perdamaian. Putusan yang demikian mempunyai persesuaian ganda, yakni di satu pihak hak waris seorang laki-laki sama dengan hak warisan dua orang perempuan dan di pihak lain hak warisan seorang laki-laki sama dengan hak warisan seorang perempuan.
Persesuaian di atas juga diiringi adanya perbedaan dalam beberapa asas hukum mengenai penentuan harta warisan, pembagian harta warisan, kelompok keutamaan ahli waris, pengalihan harta warisan, dan pembagian harta warisan. Perbedaan asas hukum tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.[6]
1. Penentuan harta warisan
Dalam penentuan harta warisan dalam hukum kewarisan adat masyarakat Donggala terdapat beberapa harta peninggalan yang tidak dibagikan kepada ahli waris. Harta peninggalan itu disebut mbara-mbara nimana, misalnya kavari, geno, lola, dan alat-alat pesta adat lainnya. Dapat juga berupa rumah. Harta warisan tersebut tidak dibagikan kepada ahli waris, tetapi diwakafkan kepada yayasan yang mengurusi anak yatim.
2. Pembagian harta warisan
Dalam pembagian harta warisan dalam hukum kewarisan adat masyarakat Donggala terdapat beberapa harta peninggalan pewaris yang beralih kepada ahli waris lainnya dalam bentuk pembagian hasil kebun dan pembagian pengolahan sawah secara bergilir kepada setiap ahli waris.
3. Kedudukan kelompok keutamaan ahli waris
Dalam hukum kewarisan adat masyarakat Donggala belum ditemukan kasus mengenai ayah atau ibu yang mendapat harta warisan bila pewaris meninggalkan anak, sedangkan dalam hukum kewarisan Islam dalam kasus yang sama, anak menjadi ahli waris bersama dengan ibu dan/atau ayah pewaris.
4. Penentuan hak warisan
Pelaksanaan hukum kewarisan Islam dalam hukum kewarisan adat masyarakat Donggala mengenai porsi pembagian ½, ¼, 1/8, 1/3, 1/6, dan 2/3 harta warisan bagi setiap ahli waris berdasarkan perioritas dekat dan jauhnya hubungan kekerabatan dengan pewaris, namun dalam kasus penambahan hak waris (raad) dan pengurangan hak waris (awl) belum dikenal dalam pelaksanaan hukum adat kewarisan masyarakat muslim kabupaten Donggala.
KESIMPULAN
1. Pengertian pewarisan sebelum maupun sesudah kemerdekaan adalah suatu proses beralihnya harta (baik berwujud atau tidak berwujud) dari suatu generasi kepada generasi berikutnya dengan tidak disertai ketentuan apakah proses itu terjadi sebelum atau sesudah meninggalnya pewaris.
2. Pengertian ahli waris sebelum Proklamasi Kemerdekaan selalu dikaitkan dengan hubungan darah. Akibatnya janda bukan ahli waris dari suaminya karena janda tidak punya hubungan darah dengan suaminya. Namun setelah proklamasi janda ditetapkan sebagai ahli waris suaminya dan memperoleh harta gono-gini. Hal tersebut berdasarkan keputusan MA tol 20 April 1960 No. 110 K/Sip/1960.
3. Dengan adanya keputusan MA, dengan sendirinya mengubah bentuk hukum waris adat yang sudah ada.
4. Bentuk hukum waris adat di daerah Donggala pada saat sekarang ini sudah sangat di pengaruhi oleh ajaran agama islam. Hal itu terlihat dari penyelesaian permasalahan berdasarkan ajaran agama islam yakni berlandaskan Al-quran dan hadits.
No. 2 Tahun Kedua, Jakarta: Yayasan Penelitian dan Pengembangan Hukum (Law
Center), 1975, h. 101.
[3] Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat,Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2003 cet. Ke-VII, hal.84
[4] Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Hal. 226
[5] Ibid. Hal. 226
[6] Ibid, Hal. 233
No comments:
Post a Comment