PEMBAHASAN
A. HAK ADAT
Keadaan hukum tanah Indonesia sebelum Undang-Undang Pokok Agraria adalah bersifat pluralis, yang terdiri dari:
· Hukum Tanah Adat, yakni tanah-tanah dengan hak Indonesia
· Hukum Tanah Barat, yakni tanah-tanah dengan hak barat
· Hukum Tanah Antar Golongan
· Hukum Tanah Administratif
· Hukum Tanah Swaparaja, yaitu tanah-tanah yang pada jaman Hindia-Belanda merupakan daerah raja-raja. [1]
Dalam realitas sejarah pertanahan di Indonesia, sebagian terbesar hak tanah perseorangan yang terdapat dalam komunitas masyarakat adalah tanah hak milik adat. Pemilikan itu berlangsung turun-temurun bahkan sejak sebelum jaman penjajahan. Masyarakat adat memiliki tradisi yang berlaku sebagai kaidah sosial di dalam kehidupan mereka, dipatuhi dan dipelihara sebagai suatu norma hukum.
Van vollenhoven membagi wilayah Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat. Walaupun diantara masyarakat hukum adat dalam hal-hal tertentu masing-masing memiliki tradisi berbeda yang mencirikannya, tetapi dalam banyak hal memiliki kesamaan. Kesamaan yang mendasar sebagai sesuatu persekutuan hukum adat yakni adanya kekuasaan lembaga persekutuan terhadap lingkungannya yang merupakan hak pertuanan, yang dikenal secara umum dalam perundang-undangan sebagai hak ulayat. Pada sisi lain anggota masyarakat adat secara perorangan mendapatkan hak untuk menguasai dan memanfaatkan sumber daya alam untuk kepentingan hidupnya sesuai dengan aturan yang berlaku.[2]
Secara tradisional hak dan kewajiban anggota masyarakat adat mempunyai istilah yang berbeda walaupun dalam hal tertentu memiliki ciri yang sama.
Hubungan hidup manusia dalam suatu masyarakat adat dengan tanah dimana mereka berdiam bersifaat magis-religius. Tanah menjadi sumber kehidupan, tempat mereka dilahirkan, tanah dimana mereka dimakamkan bahkan tempat kediaman roh-roh halus dan arwah para leluhurnya.
Terdapat pluralisme dalam hukum adat, karena disamping terdapat kesamaan juga terdapat perbedaan menurut wilayah/bagian-bagian daerah di Indonesia. Berbagai sebutan tanah hak-hak Indonesia yang dikategorikan hak milik berbeda antara yang satu dengan yang lainnya seperti milik, yasan, rpekulen. Selain itu juga dikenal tanah hak milik berdasarkan surat-surat bukti pajak hasil bumi seperti letter C, petuk pajak bumi, girik, rincik, landrente.[3]
Dalam perjalanan waktu seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat, dinamika pemilikan tanah terus berlangsung dan terjadi derivasi hak milik yang dikenal dalam berbagai istilah seperti tilaran, pusaka, sangkolan, turunan, maana, budel, dan sebagainya.
Adapun macam-macam Hak Adat sebelum UUPA adalah sebagai berikut:
1. Hak Ulayat.
Hak ulayat adalah suatu sifat komunaltistik yang menunjuk adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. Tanah tersebut merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama. Dalam pelaksanaannya, kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat yang teritorial (Desa, Marga magari, hutan) bisa juga merupakan masyarakat hukum adat geneologik atau keluarga, seperti suku.[4]
Para warga sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, namun tidak ada kewajiban untuk menguasai dan menggunakannya secara kolektif. Oleh karena itu penguasaan tanahnya dirumuskan dengan sifat individual.
Hak individual tersebut bukanlah semata-mata bersifat pribadi, karena didasari bahwa yang dikuasai dan digunakan itu adalah sebagian dari tanah bersama. Oleh karena itu dalam penggunaannya tidak boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi semata-mata, melainkan juga harus diingat akan kepentingan bersama, yaitu kepentingan kelompok, sehingga sifat penguasaannya mengandung apa yang disebut dengan unsur kebersamaan.
Oleh sebab itu, hak bersama yang merupakan hak ulayat itu bukan hak milik dalam arti yuridis, akan tetapi merupakan hak kepunyaan bersama, maka dalam hak ulayat dimungkinkan adanya hak milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.[5]
a. Tanda-tanda dan Ciri Hak Ulayat.
- Persekutuan hukum itu dan dan anggota-angotanya dapat mempergunakan tanah atau hutan belukar di dalam wilayahnya dengan bebas. Misalnya, membuka tanah, mendirikan perkampungan atau memungut hasilnya.
- Yang bukan anggota dari persekutuan hukum dapat mempergunakan hak itu, tetapi harus seizin dari persekutuan hukum tersebut.
- Dalam mempergunakan tanah itu bagi yang bukan anggota selalu harus membayar recognitie.
- Persekutuan hukum mempunyai tanggung jawab atau beberapa kejahatan tertentu yang terjadi dalam lingkungan wilayahnya bilamana orang yang melakukan kejahatan itu sendiri tidak dapat digugat.
- Persekutuan hukum tidak boleh memindahkan haknya untuk selama-lamanya kepada siapa pun.
- Persekutuan hukum mempunyai hak campur tangan terhadap tanah-tanah yang telah digarap. Misalnya, dalam pembagian pekarangan atau dalam jual beli.[6]
b. Kedudukan Hak Ulayat dalam UUPA
Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.
Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas".
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-anggota masyarakat itu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2.
Dalam UUPA dan Hukum Tanah Nasional, bahwasanya hak ulayat tidak di hapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E). [7]
2. Hak Gogolan.
Hak Gogolan adalah hak seorang gogol , atas apa yang dalam perundang-undangan agraria dalam zaman Hindia Belanda dahulu, disebut komunal desa. Hak gogolan ini sering disebut dengan hak sanggao atau hak pekulen. Sedangkan dalam kepustakaan Hukum Agraria Administrasi, hak gogolan tersebut disebut dengan hak Komunal (Comminal Bezit) yang dianggap sebagai tanah desa melalui usaha dari orang-orang tertentu, sedangkan tanahnya disebut dengan tanah gogolan atau tanah pekulen.
Mengenai hak gogolan tersebut dapat dibedakan menjadi dua jenis:
1. Hak Gogolan Bersifat Tetap, yaitu hak gogolan, apabila para gogol tersebut terus menerus mempunyai tanah gogolan yang sama dan apabila si gogol meninggal dunia, dapat diwariskan kepada ahli warisnya yang tertentu untuk melanjutkannya, seperti istri dan anak-anaknya.
2. Hak Gogolan Bersifat Tidak Kekal, yaitu hak gogolan, apabila para gogol tersebut tidak terus menerus mempunyai tanah gogolan yang sama atau apabila si gogol meninggal dunia, maka tanah gogolan tersebut kembali kepada desa.
Sehubungan dengan itu, maka dengan keputusan bersama Menteri Agraria dan Menteri Dalam Negeri tanggal 4 Mei 1965, Nomor, khususnya Diktum Ketiga, maka hak gogolan tidak tetap dapat dibedakan dalam tiga bentuk:
1) Atok Sirah Gilir Galeng, yaitu hak gogolan, dimana hak mengggarap/menguasai tanah tersebut bersifat turun-temurun (Atok Sirah), tetapi tanah yang digarap/dikuasai berganti-ganti (Gilir Galeng).
2) Gogol Musiman/Gogol Glebangan, yaitu hak gogolan, dimana hak menggarap tanah bersifat turun-temurun, tetapi pada suatu waktu yang menggarap hanya sebagian dari para gogol untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu diganti bagian yang lain selama waktu tertentu.[8]
3) Gogol Milir Mati, hak gogolan, dimana hak menggarap tanah bersifat tetap, tetapi apabila si gogol meninggal, maka tanah yang digarap diserahkan kembali kepada magang gogol yang kedudukannya tertinggi dalam daftar urutan Ranglijst.[9]
3. Hak Anggaduh
Hak Anggaduh adalah hak untuk memakai tanah kepunyaan Raja. Menurut pernyataan ini, maka semua tanah Yogyakarta adalah kepunyaan Raja, sedangkan rakyat hanya menggaduh saja.
Tanah-tanah di daerah Yogyakarta adalah tanah-tanah yang berasal dari:
· Hak-hak yang berasal bekas Hak Barat
· Hak-hak yang berasal dari bekas Hak Swapraja.
Terhadap hak Anggaduh ini, dapat dibedakan menjadi:
· Hak anggaduh yang bersifat tetap
[1] Ali Ahmad Chomzah, Hukum Agraria, (Jakarta:Prestasi Pustakaraya, 2003), hal 79.
[2] Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik atas Tanah, (Jakarta:Penerbit Republik, 2008), hal 12.
[4] http://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/10/kedudukan-hak-ulayat-dalam-uupa.
[5] Ibid
[6] Ali Ahmad Chomzah, Hukum.............,hal 31.
[7] http://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/10/.................................
[8] Ali Ahmad Chomzah, Hukum.............,hal 119.
No comments:
Post a Comment