I. Hukum Waris Adat
1. Hukum Waris Adat
Penggunaan istilah hukum waris adat di sini dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah hukum waris lainnya, seperti hukum waris Islam, hukum waris barat, hukum waris Indonesia dan lainnya. Istilah waris dalam kelengkapan istilah hukum waris adat diadopsi dari bahasa arab dengan pengertian di dalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.
Hukum waris adat ini memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris, serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasan dan kepemilikannya dari pewaris kepada waris. Dengan ini hukum waris dapat dijelaskan sebagai hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Dalam hukum waris adat, warisan tidak diartikan sebagai cara penyelesaian sebagai akibat dari kematian seseorang, akan tetapi diartikan sebagai bendanya dan penyelesaian harta benda seseorang kepada warisnya dapat dilaksanakan sebelum dia wafat.
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum waris islam dan hukum waris barat. Sebab perbedan itu terletak pada latar belakang bangsa Indonesia yang berfalsafah pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika, yang mana latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan, dan kedamaian di dalam hidup.
2. Sifat Hukum Waris Adat
Jika hukum waris adat dibandingkan dengan hukum waris islam ataupun dengan hukum barat, maka akan didapatkan perbedaan-perbedaannya dalam harta warisan dan cara-cara pembagiaannya yang berlainan.
Harta warisan menurut hukum waris adat bukan merupakan kesatuaan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi dan atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan yang tidak dapat terbagi merupakan harta bersama para waris. Tidak boleh dimiliki perorangan tetapi dapat dinikmati dan dipakai oleh semua waris.
Hukum waris adat tidak mengenal “legitieme potie” atau bagian mutlak sebagaimana hukum barat yang menentukan hak-hak dan bagian-bagian tertentu para waris, sebagaimana pula diatur dalam hukum islam. Hukum waris adat juga tidak mengenal hak para waris untuk menuntut agar warisan dibagikan kepadanya, akan tetapi jika waris sangat memerlukanya, maka ia bisa mengajukan pemintaannya agar dapat warisan dengan cara musyawarah dengan para waris lain.
3. Beberapa Pengertian Istilah
Berikut adalah beberapa istilah yang digunakan dalam pembahasan lebih lanjut dalam buku hukum waris adat:
a. Warisan
Istilah ini menunjukkan harta kekayaan dari pewaris yang telah wafat untuk membedakannya dengan harta yang bukan didapat dari pewaris.
b. Peninggalan
Istilah ini menunjukkan harta warisan yang belum terbagi atau tidak terbagi dikarenakan salah seorang pewaris masih hidup.
c. Pusaka
Istilah ini disebut juga harta pusaka yang dibedakan antara pusaka tinggi dan pusaka rendah. Harta pusaka tinggi adalah harta peninggalan leluhur sedangkan harta pusaka rendah adalah harta peninggalan dari beberapa generasi di atas ayah, yang mana semuanya dikarenakan keadaannya, kedudukannya, dan sifatnya tidak dapat atau tidak patut dibagi-bagikan. Antara kedua pusaka ini tidak bisa dibedakan dengan garis batas tertentu, tergantung dari susunan kemasyarakatan adat bersangkutan.
d. Harta perkawinan
Istilah ini dipakai untuk menunjukkan semua harta kekayaan yang dimiliki oleh suami istri disebabkan adanya ikatan perkawinan.
e. Harta penantian
Istilah ini menunjukkan harta yang dimiliki oleh suami atau istri ketika perkawinan itu terjadi. Jika istri ikut suami maka harta yang dimiliki suami sebelum perkawinan merupakan harta penantian, sedang harta istri disebut harta pembekalan begitu pula sebaliknya.
f. Harta bawaan
Istilah ini sama halnya dengan harta pembekalan. Jika istri ikut suami maka harta yang dimiliki istri sebelum perkawinan itu disebut harta bawaan.
g. Harta pencaharian
Istilah ini menunjukkan semua harta yang dimiliki oleh suami istri dalam perkawinan sebagai hasil usaha bersama. Namun ada kalanya harta tersebut menjadi milik masing-masing suami ataupun istri.
h. Harta pemberian
Istilah ini menunjukkan harta yang didapat oleh suami atau istri secara bersama dari orang lain. Pemberian itu dapat berupa hibah, hadiah, atau wasiat.
i. Pewaris
Istilah ini digunakan untuk pemilik harta yaitu seseorang yang meneruskan harta peninggalan ketika masih hidup kepada waris atau orang yang telah wafat yang meninggalkan harta untuk waris.
j. Pewarisan
Istilah ini adalah menunjukkan proses penerusan harta yaitu ketika pewaris masih hidup, dan proses pembagian harta yaitu ketika pewaris telah wafat.
k. Waris
Istilah ini digunakan untuk orang yang menerima harta warisan. Waris dibedakan menjadi dua yaitu ahli waris yang berhak menerima warisan dan bukan ahli waris tapi kewarisan harta warisan.
II. Pancasila Dan Asas Hukum Waris
Pancasila dalam hokum waris adat merupakan pangkal tolak berfikir serta penggarisan dalam pewarisann dengan tujuan agar penerusan dan pembagian harta warisan dapat berjalan dengan rukun dan damai tidak menimbulkan silang sengketa atas harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris.
Berikut adalah uraian unsur-unsur pandangan hidup pancasila sebagai asas dalam proses pewarisan sehingga kekeluargaan dan kebersamaan dapat dipertahankan.
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Asas dalam sila pertama ini adalah keyakinan setiap orang yang pecaya kepada Tuhannya bahwa setiap harta yang didapat dan dimilikinya adalah karunia dari Sang Pencipta, oleh karenanya orang-orang yang benar-benar bertaqwa kepada tuhannya akan selalu menjaga kerukun dari pertentangan, harta warisan tidak akan menjadi masalah karena yang dipentingkan adalah tetap menjaga kerukun antara para waris dan semua anggota keluarga keturunan pewaris.
2. Sila Kemanusiaan
Dalam sila ini ditekankan bahwa setiap manusia harus diperlakukan secara wajar menurut keadaannya sehingga berlaku kesamaan hak dan kesamaan tanggung jawab dalam memelihara kerukunan hidup. Dan atas harta warisan dapat diperlakukan secara adil dan bersifat kemanusiaan baik dalam pembagiannya ataupun pemanfaatannya dengan selalu memperhatikan para waris yang hidupnya kekurangan.
3. Sila Persatuan
Asas dalam sila ini adalah menjaga kerukunan, yaitu bagaimana caranya agar kesatuan dalam kekeluargaan itu tetap terjaga. Demi persatuan dan kesatuan keluarga, apabila seseorang pewaris wafat maka bukanlah tuntutan harta warisan yang harus diselesaikan melainkan bagaimana memelihara persatuan agar tetap rukun dengan adanya harta warisan itu.
4. Sila Kerakyatan
Asas yang diambil dari sila ini adalah memelihara kesanak-saudaraan pewaris atas dasar musyawarah dan mufakat para anggota keluarga. Musyawarah tersebut dipimpin oleh waris yang dituakan dan apabila terdapat kesepakatan tentang harta warisan maka setiap anggota harus mentaatinya.
5. Sila Keadilan
Keadilan dalam sila ini menurut hukum adat adalah keadilan bagi semua anggota waris mengenai harta warisan, baik yang berupa ahli waris maupun bukan. Dan dalam hukum waris adat tidak berarti membagi pemilikan atau pemakaian harta warisan yang sama jumlah atau nilainya, tetapi yang selaras dengan kepentingan dan pemerataannya.
6. Asas-Asas Hukum Waris Adat
Dengan uraian yang berpangkal tolak dari sila-sila pancasila, maka dapat disimpulkan bahwa dalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya terdapat asas kerukunan dan asas kesamaan hak dalam pewarisan tetapi juga terdapat asas-asas hukum lain yang terdiri dari : asas ketuhanan dan pengendalian diri, asas kesamaan hak dan kebersamaan hak, asas kerukunan dan kekeluargaan, asas musyawarah dan mufakat, dan asas keadilan dan parimirma.
III. Sistem Pewarisan
1. Sistem Keturunan
Secara teoritis, sistem keturunan itu dapat dibedakan dalam tiga corak, yaitu:
a. Sistem patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol daripada wanita.
b. Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik dari garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol daripada pria.
c. Sistem parental, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua (dua sisi: ibi-bapak) dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan.
2. Sistem Pewarisan Individual
Sistem ini adalah sistem pewarisan dimana setiap waris mendapat pembagian untuk dapat menguasai atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah dibagi, harta warisan dapat dinikmati atau bahkan dijual kepada anggota keluarga lain.
3. Sistem Pewarisan Kolektip
Sistem ini adalah system pewarisan dimana harta peninggalan diteruskan atau dialihkan pemilikannya dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi pemilikannya, melainkan setiap waris berhak menggunakannya atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Dimana kepentingan setiap waris terhadap harta peninggalan diatur dan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang berhak atas peninggalan di bawah bimbingan kepala kerabat.
4. Sistem Pewarisan Mayorat
Sistem ini pada dasarnya merupakan sistem pewarisan kolektip hanya saja harta penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga. Sistem mayorat ini dibedakan menjadi dua berdasarkan perbedaan sistem keturunan yang dianut yaitu mayorat lelaki seperti dalam adat lampung, dan mayorat perempuan seperti dalam adat semendo Sumatra selatan.
5. Sistem Pewarisan Islam
Sistem ini adalah sistem hukum waris yang pelaksanaan dan penyelesaian harta warisan apabila pewaris telah wafat. Menurut sistem individual hukum waris adat banyak sedikitnya bagian waris tidak ditentukan dengan pasti sedangkan dalam sistem hukum waris islam sudah ditentukan, antara lain disebutkan dalam al-Quran yang salah satunya menyebutkan bahwa bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Adapun yang berhak mendapat warisan adalah sebagai berikut:
a. Menurut garis bapak-anak (ke bawah) ialah juga anak perempuan, dan cucu perempuan;
b. Menurut garis anak-bapak (ke atas) ialah bapak, ibu, kakek dari pihak bapak dan nenek dari pihak bapak maupun pihak ibu;
c. Menurut garis saudara (ke samping) ialah saudara kandung, saudara tiri dari pihak bapak, saudara tiri dan saudari tiri dari pihak ibu, juga duda dan janda,
6. Sistem Pewarisan Barat
Sistem yang dimaksud adalah sesuai yang diatur dalam kitab KUH Perdata yang menganut sistem individual, yang mana jika pewaris wafat maka harta warisan harus selekas mungkin dibagikan. Jadi begitu pewaris wafat maka harta warisan harus segera dibagikan kepada waris, dan setiap waris berhak menuntut haknya apabila belum mendapatkan bagian dari harta warisan.
Menurut hukum barat, pada hakikatnya semua harta warisan termasuk hutang piutang beralih kepada waris, sedang para waris dapat memilih di antara tiga sikap yaitu:
a. Sikap menerima secara keseluruhan. Waris menerima warisan termasuk hutang piutangnya pewaris.
b. Sikap menerima dengan syarat. Waris menerima warisan secara terperinci dan hutang piutang akan dibayar oleh waris sesuai warisan yang didapatnya.
c. Sikap menolak. Waris menolak mendapat warisan karena dia tidak tahu sama sekali tentang pengurusan harta waris.
Tentu sistem ini tidak sesuai dengan keadaan sosial Indonesia karena sifatnya yang mementingkan hak-hak perseorangan atas kebendaan.
IV. Harta Warisan
Menurut pengertian yang umum, warisan adalah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia (pewaris), baik harta benda itu sudah terbagi atau belum terbagi atau memang tidak dapat dibagi. Apabila berbicara tentang harta waris maka sama halnya dengan mempersoalkan harta kekayaan seseorang (pewaris) karena telah wafat dan apakah harta kekayaan orang itu akan (dapat) dibagi, atau belum dapat dibagi atau memang tidak dapat dibagi.
Untuk mengetahui bagaimana asal usul, kedudukan harta warisan, apakah ia dapat dibagi atau memang tidak terbagi, termasuk hak dan kewajiban apa yang terjadi setelah penerusan pewaris kepada waris, maka harta warisan itu terbagi dalam empat bagian yaitu: harta asal, harta pemberian, harta pencaharian, dan hak-hak/kewajiban yang diwariskan.
1. Harta Asal
Harta asal adalah semua harta kekayaan yang dikuasai dan dimiliki pewaris sejak mula pertama, baik berupa harta peninggalan ataupun harta bawaan yang dibawa masuk ke dalam perkawinan dan kemungkinan bertambah selama perkawinan sampai akhir hayatnya. Dan harta asal ini dibedakan dengan harta pencaharian, yaitu harta yang didapat bersama oleh suami istri (salah satunya adalah pewaris} selama dalam perkawinan.
Harta peninggalan dapat dibedakan dengan peninggalan yang tidak terbagi, peninggalan yang belum terbagi, dan peninggalan yang terbagi, sedangkan harta bawaan dapat dibedakan dengan harta bawaan suami dan harta bawaan istri.
1.1.Harta peninggalan
a. Peninggalan tidak terbagi
Harta peninggalan tidak terbagi adalah yang biasanya harta kekayaan tersebut merupakan harta peninggalan turun temurun dari zaman leluhur dan merupakan milik bersama dan biasanya berada di bawah kekuasaan dan pengawasan tut-tua adat, seperti harta pusaka di minangkabau, tanah buway di lampung, atau tanah dati di ambon.
Harta pusaka ini terbagi dua, pusaka tinggi dan pusaka rendah. Harta pusaka tinggi selain tidak dapat dibagi juga tidak dapat dijual kecuali hanya dalam keadaan terpaksa boleh digadaikan (adat minang) dengan empat syarat yaitu: adat tak berdiri; yaitu tak ada lagi penghulu untuk rumah yang menjadi harta pusaka, rumah gedang ketirisan; yaitu rumah adat yang sudah rusak, gadis gedang tak berlaki; yaitu untuk biaya perkawinan gadis yang tidak punya biaya, dan mayat terbujur tengah rumah; yaitu apabila ada yang wafat , yaitu untuk biaya sejak sakitnya sampai wafat.
Harta pusaka rendah adalah harta peningalan dari beberapa generasi sebelumnya yang tidak terlalu besar. Harta pusaka ini merupakan harta bersama kerabat yang tidak terbagi-bagi pemilikannya dan akan terus bertambah dengan masuknya harta pencaharian dari para ahli waris. Namun dalam perkembangannya, harta pusaka rendah semakin mengecil fungsi dan peranannya sebagai harta bersama milik kerabat sehingga lambat laun menjadi harta kekayaan serumah tangga saja yang dipimpin dan diatur oleh ayah dan ibu.
b. Peninggalan terbagi
Dengan adanya perubahan dari harta pusaka menjadi harta kekayaan keluarga serumah yang dikuasai dan dimiliki ayah dan ibu karena melemahnya pengaruh kekerabatan, maka kemungkinan harta peninggalan yang berupa harta pusaka menjadi terbuka untuk diadakan pembagian, bukan saja pembagian hak pakai tetapi juga pembagian hak miliknya menjadi perseorangan.
Terbaginya harta peninggalan tersebut dapat berlaku sebelum pewaris wafat atau sesudah pewaris wafat. Ketika masih hidup pewaris dapat memberikan harta waris kepada waris sebagai bekal untuk berusaha dan membentuk keluarga sendiri dan berpisah dari kesatuan rumah tangga orang tua.
c. Peninggalan belum terbagi
Harta peninggalan ada kalanya belum dibagi kepada waris karena ditangguhkan waktu pembagiannya. Penangguhan waktu antara lain disebabkan oleh:
- Masih ada orang tua
- Terbatasnya harta peninggalan
- Tertentu jenis dan macamnya
- Pewaris tidak punya keturunan
- Para waris belum dewasa
- Belum ada waris pengganti
- Di antara waris belum hadir
- Belum ada waris yang berhak
- Belum diketahuinya hutang piutang pewaris
1.2.Harta bawaan
a. Bawaan suami
Harta bawaan suami dapat dibedakan sebagai harta pembujangan atau harta pembekalan. Harta pembujangan dimaksudkan sebagai harta penantian suami terhadap istri, sedang harta pembekalan adalah harta yang disiapkan oleh suami sebagai bawaanya ketika ikut kepada istri.
b. Bawaan istri
Harta bawaan isrti dibedakan juga sebagai harta bawaan yang akan dibawa ke tempat suami, harta penantian seorang istri yang menanti suaminya karena perkawinan semanda, atau harta pembekalan dalam ikatan perkawinan bebas yang terlepas dari pengaruh keluarga atau kerabat.
2. Harta Pemberian
2.1.Pemberian suami
Pada dasarnya pemberian ini hanya berdasar pada kasih sayang bukan usaha bersama. Harta pemberian dapat berupa uang ataupun pemberian lain. Dalam hukum adat suami memberikan harta yang kemudian dibelikan barang dan menjadi milik istri. Harta itu termasuk dalam harta bawaan istri, yang kemudian tidak dapat diambil lagi oleh suami. Namun ada kalanya istri yang memberi kepada suami disebabkan suami kurang daya dalam rumah tangga.
2.2.Pemberian orang tua
Harta pemberian dari orang tua dapat digunakan oleh suami istri atau anaknya dan juga dapat menjadi milik pribadi suami atau istri. Pemberian tersebut dapat berupa barang tetap atau barang bergerak atau hanya berupa hak pakai.
2.3.Pemberian kerabat
Pemberian ini biasanya diberikan oleh setiap kerabat yang apabila salah satu kerabatnya melakukan perkawinan, maka pemberian ini bisa untuk meringankan biaya perkawinanannya.
2.4.Wasiat
Yaitu harta yang didapat dari seorang yang sudah wafat dikarenakan adanya pesan dari pewaris sebelum wafat.
2.5.Selain itu ada pemberian dari anak kemenakan dan dari orang lain yang tak punya hubungan darah sekalipun. Pada dasarnya pemberian semacam ini didasari oleh keakraban yang luas antar sesama. Kemudian juga ada hadiah yaitu pemberian barang-barang ringan, misalnya ketika terjadi perkawinan. Untuk membedakan pemberian orang lain dengan hadiah dapat dilihat dari jenis bendanya dan latar belakang pemberiannya. Jika hadiah lebih berupa barang-barang ringan, maka pemberian berupa barang-barang yang berharga seperti contohnya rumah, tanah dan lainnya.
3. Harta Pencaharian
Harta pencaharian ini adalah semua harta yang didapat oleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan. Harta-harta dalam harta pencaharian antara lain adalah: harta suami; yaitu dalam garis patrilinial suami lebih berkuasa, harta istri; yaitu dalam garis matrilinial istri lebih berkuasa daripada suami, dan harta bersama; adalah harta yang didapat oleh suami istri secara bersama.
4. Hak-Hak Kebendaan
Hak kebendaan tidak hanya berupa benda yang berwujud tetapi juga berupa benda yang tak berwujud. Selain itu juga ada berupa hak-hak kebendanan antara lain seperti: Hak-hak pakai, hak tagihan (hutang-piutang), dan hak-hak lainnya.
V. Para Waris
Para waris yang dimaksudkan adalah semua orang yang akan menerima harta waris baik berupa penerusan ataupun pembagian, baik itu seorang waris atau bukan waris. Berikut adalah daftar para waris:
1. Anak kandung yang meliputi: anak sah, anak tidak sah, waris anak laki-laki dan anak perempuan (patrilinial-matrilinial), waris anak sulung (pria dan wanita), waris anak pangkalan dan anak bungsu.
2. Anak tiri dan anak angkat yang meliputi: anak tiri, anak angkat, anak angkat mewarisi dan tidak mewarisi.
3. Waris balu yaitu sebutan lain bagi suami (duda) yang ditinggal mati istri atau istri (janda) yang ditinggal mati suaminya. Waris balu terbagi menjadi: balu dalam sistem patrilinial, balu dalam sistem matrilineal, dan balu dalam sistem parental.
4. para waris lainnya, yaitu waris yang tidak termasuk diatas tetapi bisa mendapat harta waris yang disebabkan tidak adanya waris yang di atas.
VI. Proses Pewarisan
Proses pewarisan adalah jalannya pewarisan yaitu cara bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan harta kekayaan yang akan ditinggal kepada waris ketika pewaris masih hidup dan bagaimana warisan itu dibagikan kepada waris ketika pewaris telah wafat.
1. Sebelum Pewaris Wafat
1.1.Penerusan atau pengalihan
Penerusan ini dilakukan sebelum pewaris wafat, maka dengan ini beralihlah penguasaan dan pemilikan atas hak dan harta kekayaan pewaris kepada waris sekalipun pewaris masih hidup.
1.2.Penunjukan
Penunjukkan pada dasarnya sama dengan pengalihan atau penerusan, hanya saja jika pengalihan maka berpindahnya kekuasaan ketika pewaris masih hidup sedangkan pada penunjukkan maka beralihnya penguasaan setelah pewaris wafat.
1.3.Pesan atau wasiat
Hal ini dapat dilakukan oleh pewaris ketika ada ketakutan bahwa dia akan wafat, seperti sakit parah, perjalanan jauh, atau lainnya, yang kemudian ia berpesan kepada anak dan istrinya tentang harta warisannya.
2. Pewaris Sudah Wafat
2.1.Penguasaan warisan
Penguasaan atas harta waris berlaku apabila harta warisan itu tidak dapat dibagi-bagi karena milik bersama. Adapun harta ini ada kemungkinan dapat dikuasai oleh beberapa orang antara lain: janda, anak, anggota keluarga dan para tua adat.
a. Janda
Pada saatnya suami wafat maka istrilah yang menjadi penguasa harta berikutnya selama dia tidak pernah putus perkawinannya. Di kalangan masyarakat patrilinial, matrilinial, dan parental, seorang istri mempunyai hak untuk menguasai harta suaminya.
b. Anak
Jika anak pewaris yang ditinggalkan sudah dewasa dan sudah berumah tangga, maka harta warisan yang tidak terbagi dikuasai oleh anak.
c. Anggota keluarga
Jika pewaris meninggalkan anak-anak yang masih kecil dan tidak ada jandanya, maka pengusaan harta kekayaan yang tidak dapat dibagi berada pada orang tua pewaris dan atau saudara-saudara pewaris atau keturunannya.
d. Tua-tua adat
Apabila harta warisan itu berupa harta pusaka, maka sekalipun itu berada di tangan waris akan tetapi harta pusaka itu dibawah penguasaan tua-tua adat.
2.2.Pembagian warisan
a. Waktu pembagian dan juru bagi
Menurut adat kebiasaan waktu pembagian adalah setelah pewaris wafat dan ketika diadakan upacara sedekah atau selamatan, karena pada hari-hari itu semua anggota berkumpul. Sedang yang menjadi juru bagi adalah: orang tua yang masih hidup, anak tertua lelaki, anggota keluarga tertua, dan anggota kerabat tetangga yaitu pemuka adat atau agama yang dipilih oleh para ahli waris.
b. Cara pembagian
Hukum adat tidak mengenal pembagian dengan hitungan matematika, melainkan dilaksanakan berdasar atas pertimbangan wujud benda dan kebutuhan waris yang bersangkutan.
c. Hilangnya hak waris
Apabila seseorang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat maka ia bisa jadi tidak mendapat harta waris, akan tetapi jika dimaafkan oleh pihak keluarga maka kembali dia bisa menerima haknya.
2.3.Pewarisan menurut islam
a. Golongan ahli waris
Ahli waris dibedakan antara dua, yaitu asabat dan bukan asabat. Asabat adalah semua kerabat laki-laki dan bukan asabat adalah kerabat perempuan yang dimasukkan sebagai ahli waris. Para asabat terdiri dari:
- Anak laki-laki
- Cucu laki-laki terus ke bawah
- Bapak dari pewaris
- Kakek terus ke atas yang lelaki
- Saudara laki-laki seibu sebapak atau sebapak saja atau seibu saja.
- Anak laki-laki dari saudara seibu sebapak atau sebapak saja.
- Anak lakik-laki paman yang seibu sebapak atau yang sebapak saja.
- Suami
- Lelaki yang memerdekakan pewaris
Apabila semua asabat ini ada maka yang berhak tetap menerima waris adalah bapak, anak laki-laki, dan suami.
Para ahli waris yang bukan asabat:
- Anak-anak perempuan
- Cucu perempuan terus kebawah menurut garis laki-laki
- Ibu dan ibu dari bapak.
- Ibu dari ibu terus keatas
- Saudara perempuan seibu sebapak, atau sebapak/ seibu saja.
- Istri
- Perempuan yang memerdekakan pewaris
Apabila semua yang bukan asabat ini ada maka yang tetap mendapat waris adalah isri, anak perempuan, cucu perempuan, ibu dan saudara perempuan seibu sebapak.
b. Ketentuan pembagian warisan
Ketentuan banyak sedikitnya pembagian harta warisan menurut islam adalah didasarkan pada Al-Quran surah An-Nisaa’ ayat 11-12
Apabila harta warisan akan dibagi maka terlebih dahulu harus dikeluarkan dari harta warisan itu adalah:
- Zakat dan sewa
- Biaya mengurus jenazah
- Hutang piutang pewaris
- Wasiat yang tidak lebih dari 1/3 harta warisan
c. Tidak berhak menerima waris
Dalam hukum islam tidak ada ampunan bagi seseorang yang tertolak untuk mendapatkan warisan. Yaitu disebabkan hal-hal berikut:
- Hamba sahaya
- Membunuh
- Murtad
- Kafir
VII. Peradilan Warisan
Peradilan yang dimaksud adalah cara bagaimana menyelesaikan suatu masalah yang timbul dikarenakan adanya perbedaan pendapat atau adanya persengketaan mengenai harta warisan, baik dalam wujud harta benda yang berwujud maupun tidak berwujud, yaitu berupa hak dan kewajiban, kedudukan, kehormatan, jabatan, gelar adat dan lainnya.
Adapun cara penyelesaian tersebut antara lain dapat ditempuh melalui beberapa cara, antara lain adalah:
1. Musyawarah Keluarga
Apabila terjadi sengketa harta warisan maka semua anggota keluarga pewaris berkumpul atau dikumpulkan oleh salah seorang anggota waris yang berwibawa di tempat rumah pewaris. Pertemuan dapat dipimpin oleh anak tertua laki-laki atau paman menurut susunan kekerabatan yang bersangkutan ataupun oleh juru bicara yang ditunjuk dan disetujui oleh para anggota keluarga yang hadir. Dalam musyawarah keluarga diharapkan akan menemukan kedamaian sehingga sebelumnya harus diiringi dengan nasihat tentang kesatuan keluarga.
2. Musyawarah Adat
Di Indonesia, musyawarah berfungsi dan berperan dalam memelihara dan membina kerukunan hidup keluarga. Dan apabila dalam musyawarah tidak ditemukan kerukunan dan kedamaian yang dimaksud maka masalahnya diajukan kepada musyawarah adat , yang dihadiri oleh tua-tua adat atau para pemuka kerabat seketurunan.
3. Perkara Di Pengadilan
Menyelesaikan perkara di pengadilan dikatakan bukan sebagai mencari penyelesaian damai dan adil sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, tetapi mencari keadilan berdasarkan undang-undang, yurisprudensi dan perasan hakim. Segala sesuatunya didasarkan pada pertimbangan dan keputusan yang belum tentu memenuhi rasa keadilan masyarakat bersangkutan.
4. Pembuktian
Lanjutan dari perkara pengadilan, maka hakim harus berusaha mendamaikan kedua pihak yang bersengketa terlebih dahulu, hingga jika tidak dapat ditemukan jalan kedamaian maka perkara tersebut akan terus diperiksa. Dan untuk pemeriksaan di pengadilan perlu dilengkapi dasar-dasar pertimbangan guna mengambil keputusan yang adil dan bijaksana. Antara lain harus diperiksa alat-alat pembuktian yang diajukan, berupa pengakuan, surat-surat, saksi-saksi, petunjuk dan sumpah.
a. Pengakuan
Pengakuan adalah berupa keterangan atau isyarat yang dikemukakan, diakui dan dibenarkan oleh para pihak yang berperkara di hadapan hakim, baik diucapkan, ditulis, atau dibenarkan oleh para pihak secara langsung atau dengan perantara kuasanya.
b. Surat-surat
Bukti yang satu ini masih dibilang langka dalam hukum waris adat. Karena para pihak seringkali tidak dapat mengajukan surat-surat bukti hak milik. Sekalipun ada yang menggunakan surat, seringkali surat itu dibuat palsu atau tidak sesuai dengan prosedur yang ada.
c. Saksi-saksi
Untuk memperkuat pembuktian maka dibutuhkan pula adanya saksi, yaitu orang lain yang mengetahui tentang duduk perkara harta warisan. Dalam hukum waris malah keterangan anggota kerabat itu yang diperlukan. Sekalipun dalam hukum barat tidak memperbolehkannya.
d. Petunjuk Atau Dugaan
Yang dimaksud petunjuk atau dugaan bukan saja berupa kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui ke arah peristiwa yang belum diketahui, tetapi juga berupa tanda kearah kebenaran suatu masalah. Misalnya adanya saksi yang dengan lantang bersaksi di depan hakim akan tetapi ketika diminta untuk bersumpah maka ia menolak, jadi dapat disimpulkan bahwa saksi tersebut masih ragu-ragu dengan keterangannya dan mungkin menerangkan sesuatu yang tidak benar.
e. Sumpah
Sumpah adalah jalan teakhir untuk membuktikan sesuatu agar kebenaran yang dinyatakan tidak diragukan lagi. Sumpah boleh diminta oleh hakim terhadap para pihak berperkara atau para saksi, atau diminta sendiri oleh pihak yang berperkara. Menurut hukum adat, antara orang yang disumpah dan yang menyumpah harus menganut agama yang sama.
SumJudul : Hukum Waris Adat
Penulis : Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H.
Penerbit : Citra Aditya Bakti, Bandung
Tahun : 2003
No comments:
Post a Comment