Thursday, March 3, 2011

Sanksi Nikah Sirri


PENDAHULUAN
 
A.    Latar Belakang Masalah
persoalan perkawinan yang muncul di Indonesia yang mendapatkan sorotan cukup tajam dari masyarakat kaitannya dengan pengaturannya dalam perundang-undang perkawinan di Indonesia adalah persoalan pernikahan sirri. Di satu sisi pernikahan sirri sebagaimana dalam pengertiannya di Indonesia adalah sah dalam pandangan kitab-kitab fiqh yang selama ini menjadi pegangan mayoritas ummat Islam di Indonesia dan di sisi lain negara melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengakui pernikahan tersebut karena tidak dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,[1] pernikahan yang demikian itu tidak memiliki kekuatan hukum di Indonesia[2] bahkan pernikahan tersebut dianggap sebagai sebuah tindak pidana yang diancam 6dengan hukuman denda.
Munculnya sanksi nikah sirri bermula dari akibat yang ditimbulkannya. Nikah sirri  menjadikan perempuan sebagai korban dan anak-anak hasil perkawinan tersebut menjadi terlantar karena tak diakui negara dan terkadang orang tuanya lepas tangan sebagai kewajibannya sebagai orang tua, dan tidak bisa menjadi ahli waris dan perkawinannya tidak diakui oleh istri sah.
Akan tetapi di kalangan ulama terjadi perdebatan tentang pernikahan sirri. Banyak yang pro karena memandang nikah adalah ibadah, banyak pula yang kontra karena menilai model perkawinan tersebut merugikan perempuan.
            Dengan adanya pengajuan RUU tentang sanksi nikah sirri, maka hal itu dinilai sebagai intervensi negara terhadap wilayah privasi warga negara. Pelibatan negara dan sanksi pidana dinilai mengancam, karena akan banyak kriminalisasi bagi pelaku perkawinan yang tidak mencatatkan perkawinan sesuai ketentuan hukum agama.
           
KAJIAN PUSTAKA
A.    Pengertian Nikah Sirri Serta Status Hukumnya.
Nikah sirri yang di dalam bahasa Arab disebut dengan nikah sirri, secara bahasa berarti menikah secara sembunyi-sembunyi atau secara rahasia. Kata sirri  dalam bahasa Arab berasal dari kata sirrun  yang berarti rahasia.[3]
Nikah sirri adalah pernikahan yang hanya memenuhi prosedur keagamaan. Nikah sirri artinya nikah secara rahasia tanpa adanya laporan ke KUA atau kantor Pencatatan Sipil. Sahnya perkawinan atau tidak digantungkan sepenuhnya pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan pihak-pihak yang melakukan perkawinan.[4] Akan tetapi sistem hukum Indonesia tidak mengenal kawin dibawah tangan, perkawinan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau rahasia. Dengan kata lain, perkawinan itu tidak disaksikan orang banyak dan tidak dilakukan  di hadapan pegawai pencatat nikah atau tidak melaporkannya ke KUA/Kantor Catatan Sipil. Secara hukum positif, nikah sirri tidak legal karena tidak tercatat dalam administrasi pemerintah. Semua warga negara yang menikah harus mendaftarkan pernikahannya ke KUA/Kantor Catatan Sipil untuk mendapatkan Akta Nikah. Dikarenakan karena adanya pencatatan yang sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, yakni pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[5]
 
B.     Tindak Pidana Pernikahan Sirri Dalam Perundang-undangan Perkawinan Indonesia
Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 yang secara efektif berlaku mulai tanggal 1 April 1975  dengan dikeluarkannya  Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.[6]
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara langsung persoalan pernikahan sirri, hanya mewajibkan pencatatan pernikahan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pada  Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 disebutkan:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.”
 Pada ayat tersebut tidak dicantumkan tujuan diadakannya pencatatan, tujuan pencatatan secara tersirat dapat dilacak pada penjelasan umum Undang- undang No. 1 Tahun 1974 yaitu pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dengan surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Dalam HIR pasal 1863 dinyatakan bahwa catatan atau bukti tertulis termasuk alat bukti yang diakui kesahannya, tidak hanya dalam akad nikah tapi juga dalam segala bentuk perikatan. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pencatatan itu adalah agar terdapat ketertiban dan kejelasan dalam perkawinan. Dalam Pasal 5 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam disebutkan:
 “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.”
 Adapun mengenai pernikahan yang tidak dicatatkan atau pernikahan sirri dalam Bab IX pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, mendapat hukuman setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Bab IX pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 berbunyi:
1)      Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundangundangan yang berlaku, maka:
a.       Barang siapa yang melanggar ketentuan pasal 3,10 ayat (3), 40 peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).
b.      Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan pasal 6,7,8,9,10 ayat (1), 11,13,44 peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).
2)      Tindak  pidana yang dimaksud dalam ayat (1) diatas  merupakan pelanggaran.

C.    Tindak Pidana Pernikahan Sirri Dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan (RUU HTPA Bidang Perkawinan).
Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan merupakan sebuah upaya untuk mewujudkan hukum materiil bidang perkawinan yang nantinya dapat menggantikan kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disebarluaskan dengan menggunakan Instruksi Presiden (Inpres).[7] Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Inpres tidak masuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sehingga secara yuridis KHI tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat seluruh warga negara.[8]
Tujuan pembentukan Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan adalah untuk menciptakan kepastian hukum bagi semua pihak yang terkait dengan masalah perkawinan dan keluarga. Selain itu juga dimaksudkan untuk melengkapi dan mengisi berbagai kekosongan hukum (rechtvacuum) yang ada dalam undang-undang perkawinan yang ada. Kehadiran RUU HTPA Bidang Perkawinan merupakan komplementer terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Tujuan lain adalah untuk memenuhi kebutuhan praktis badan peradilan agama yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa perkawinan. RUU HTPA Bidang Perkawinan
nantinya akan menjadi pedoman dan mengikat para hakim sebagai dasar pertimbangan hukum dalam mengadili sengketa. Kehadiran RUU HTPA Bidang Perkawinan yang nantinya menjadi Undang-undang juga dapat menghilangkan keraguan sebagian orang karena hukum perkawinan tersebut sudah termasuk dalam subsistem hukum nasional.
Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan terdiri dari XXIII Bab dan 150 Pasal. Pada Bab XXI yang  berisikan ketentuan pidana pasal 140 disebutkan:
“Setiap orang yang melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 3 (tiga) bulan.”
 Pasal di atas secara tegas menyatakan bahwa orang yang melakukan pernikahan secara sembunyi-sembunyi tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah (nikah sirri) mendapat ancaman pidana maksimal Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 3 (tiga bulan). Dengan demikian maka pernikahan sirri dapat dikategorikan sebagai sebuah tindak pidana yaitu tindak pidana pelanggaran. Dalam pasal 146 disebutkan:
 “ Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, dan Pasal 143 merupakan tindak pidana pelanggaran, dan tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 144 dan Pasal 145 adalah tindak pidana kejahatan.”
  Tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana atau delik[9] adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, Tindak pidana tersebut dibagi menjadi dua yaitu tindak pidana kejahatan (misdrijven) dan tindak pidana pelanggaran (overtredingen). Ada yang menyatakan bahwa tindak pidana kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, telah dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum seperti pembunuhan, pencurian, dan penggelapan. Sedangkan tindak pidana pelanggaran yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada aturan yang menentukan demikian seperti. Belakangan pandangan ini digantikan dengan pandangan yang menyatakan bahwa perbedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran terletak pada soal berat atau ringannya ancaman pidana. Tindak pidana kejahatan ancaman pidananya lebih berat daripada tindak pidana pelanggaran.[10]

D.    Sanksi Nikah Sirri Menurut RUU Peradilan Agama
Dalam RUU Peradilan Agama yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional 2010, terdapat ketentuan pidana antara lain terkait dengan perkawinan sirri, perkawinan mutah (kontrak), dan menikahkan atau menjadi wali nikah padahal sebetulnya tidak berhak. Para pelaku yang melarang ketentuan tersebut dapat diancam dengan hukuman penjara berkisar dari enam bulan hingga tiga tahun, dan denda maksimal 5 juta rupiah.. Hal itu dilakukan agar tidak ada korban dalam anggota keluarga, seperti istri dan anak yang tidak bisa dilindungi oleh negara. Pernikahan sirih itu harus dilarang oleh Undang-undang untuk menjaga akibat buruk pada korban-korbannya.

ANALISIS
A.    Analisis Dari Sudut Pandang Agama
Nikah sirri dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang mendapat ancaman hukuman oleh Negara, dengan alasan harus ada maslahah ‘ammah (kemaslahatan umum) sebab dengan adanya nikah sirri tanpa dicatat oleh Negara mungkin dapat menimbulkan tidak adanya tanggung jawab dari pihak suami, isteri menuntut tidak bisa, tidak dapat mendapatkan warisan karena tidak ada bukti otentik berupa Akta Nikah, nikah sirri menyebabkan pelakunya dihukum maka nikah sirri dapat menjadi haram sebab dapat mengakibatkan kemadharatan/bahaya bagi pelakunya.
 Pernikahan sirri dijadikan sebagai tindak pidana pelanggaran, dengan alasan pernikahan sirri dapat mengurangi tindakan baik suami kepada keluarga, dijadikannya nikah sirri  sebagai tindak pidana pelanggaran dapat merealisasikan maslahah mursalah dan  dapat mendorong terwujudnya keluarga yang solid.
B.     Analisis Dari Sudut Pandang Hukum
Nikah sirri sebagai tindak pidana pelanggaran dengan alasan karena kita hidup dalam negara hukum, selain itu dengan dijadikannya nikah sirri sebagai tindak pidana maka dapat mencegah timbulnya keresahan dalam masyarakat terkait dengan tidak adanya kepastian hukum bagi pelaku nikah sirri.
Alasan lainnya adalah untuk menghindari adanya peremehan terhadap pencatatan oleh Negara (hukum Negara) dalam melaksanakan kehidupan berkeluarga sebab hal ini akan berpengaruh kepada anak dan harta peninggalan.

 KESIMPULAN
            Perkawinan sirri banyak menyisakan persoalan hukum, yang pada akhirnya berujung pada pembentukan RUU Peradilan Agama dan Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan (RUU HTPA Bidang Perkawinan). sebagai antisipasi dari berbagai akibat buruk dari pernikahan tersebut,  sehingga perbedaan pendapat pun bermunculan dari berbagai kalangan. Sebagai negara hukum, maka persoalan tersebut dibawa dan dibentuk sebagai undang-undang dengan tujuan agar tidak menimbulkan lebih banyak korban dan kerugian, baik dari pihak istri, ataupun anak dari pernikahan tersebut. Karena bila ditinjau dari segi kekuatan hukum, maka istri dan anak akan menjadi tersudutkan dan tidak ada kekuatan hukumnya.
Larangan atas pernikahan sirri itu, tidak melanggar ketentuan agama. Dalam Islam terdapat beragam penafsiran mengenai nikah sirri. Karena ada perbedaan penafsiran itu, maka pernikahan sirri harus diatur dalam UU, yang bisa mengatur sanksi kepada berbagai pihak yang melanggar
            Karena perkawinan sirri banyak menyisakan persoalan hukum, terutama bagi status anak, maka harus ada lembaga hukum (advokat) yang siap untuk melindungi hak-hak anak, dengan memberikan pola penjelasan kepada masyarakat terhadap dampak akibat buruk dari perkawinan sirri. Dengan adanya undang-un­dang yang mengaturnya, tentu siapa pun yang dianggap me­lang­gar ketentuan bisa dikenakan tindakan. Bisa berupa pengenaan sanksi, baik sanksi pidana mau­pun sanksi denda.


[1] Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2
[2] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia pasal 6 ayat 2. 
[3] Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan PP Al-Munawwir, 1984), hlm.  667. Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Yasalma PP Krapyak, 1996), hlm. 1056
[4] Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 12
[5] Masjfuk Zuhdi, Nikah Sirri, Nikah Di Bawah Tangan, Dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif , Mimbar Hukum, Edisi : 28 tahun VII/September-Oktober 1996, hal. 8
[6] Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 49  Ayat 1 dan 2
[7] Kompilasi Hukum Islam (KHI) disahkan melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991
[8] Abdul Ghofur Anshori, “Beberapa Catatan terhadap RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan”, makalah Seminar Nasional Apresiasi Terhadap Draft UU RI Tentang HTPA Bidang Perkawinan, Hotel Saphir Yogyakarta, Kamis 23 Nopember 2006., hlm.  4.
[9] Tindak pidana dalam Hukum Pidana Islam disebut dengan istilah jinayah atau jarimah yang berarti perbuatan salah. Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004),  hlm. 3. Menurut arti istilah jinayah berarti perbuatan perbuatan yang terlarang menurut Syara‟ sedangkan jarimah artinya larangan-larangan Syara‟ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir. H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah.
[10] Moeljatno,  Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 2 dan 71. Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 147

No comments:

Post a Comment