Sunday, March 6, 2011

KESETARAAN DAN KEMITRAAN DALAM RUMAH TANGGA

PENDAHULUAN
A.            Latar Belakang Masalah
Al Qur’an dan sunah sebagai pedoman hidup bagi muslim, mengandung nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kemerdekaan dan sebagainya. Berkaitan dengan nilai kesetaraan dan keadilan, Islam tidak pernah menolerir adanya perbedaan dan diskriminasi.
Ada banyak hal yang membuktikan bahwa posisi lelaki dan perempuan adalah setara. Antara lain QS. Al-Baqarah/2: 187, QS. Ali Imran/3: 195, QS. Al-Taubah/9: 71 dan lainnya. Semuanya mengedepankan prinsip setara dalam memandang perempuan dan laki-laki, baik dari segi ibadah dan kehidupan dalam rumah tangga,
Konsep kesetaraan dalam rumah tangga menjadi perbincangan yang menarik seiring dengan munculnya paham feminis yang menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di segala aspek. Pembicaraan mengenai kodrat perempuan pun mewarnai perdebatan ini.
Tidak ada satu pembahasan yang luput dari al-quran dan sunah. Kesetaraan yang jadi perdebatan ini pun dapat kita temui jawabannya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai kesetaraan dan kemitraan dalam rumah tangga dari berbagai perspektif dan menganalisis fenomena sekarang terkait dengan hal ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana posisi perempuan pada masa pra Islam?
2.      Bagaimana pandangan Islam dan Undang-Undang mengenai kesetaraan dan kemitraan dalam rumah tangga?
3.      Bagaimana kaum feminis memandang kesetaraan?
4.      Bagaimana analisis mengenai fenomena peralihan peran suami dan istri?

PEMBAHASAN
Kehidupan dalam rumah tangga yang diarungi oleh suami dan istri tentu tidak lepas dari hak dan kewajiban masing-masing. Ada hal- hal yang memang menjadi kewajiban dan hak bersama, namun ada pula kewajiban yang hanya dibebankan pada salah satu saja. Sebagai contoh dalam pasal 34 UU No. 1/1974  tentang Perkawinan yang menjelaskan mengenai kewajiban suami istri.
Dalam pasal ini jelas ada pembedaan antara hak dan kewajiban suami istri. Seorang suami bisa digugat oleh istrinya dengan alasan tidak memenuhi nafkah  istri. Tentu hal ini tidak bisa dijadikan alasan bagi suami untuk menggugat istrinya, karena pemberian nafkah merupakan kewajiban suami semata.
Dengan adanya perbedaan hak dan kewajiban antara suami istri, maka akan timbul satu pertanyaan ketika membahas mengenai kesetaraan dan kemitraan dalam rumah tangga. Apakah kesetaraan yang dimaksud adalah persamaan hak dan kewajiban antara suami istri secara keseluruhan?

A.    Kemitraan dan Kesetaraan Suami dan Istri dalam Berbagai Perspektif
1.      Posisi Perempuan Pra Islam
Sebelum datangnya Islam, perempuan secara umum tidak dipandang keberadaannya dalam berbagai aspek di seluruh dunia. Dibutuhkan berabad-abad bagi perempuan untuk memperoleh hak-haknya, meskipun hanya dalam teori saja, bukan praktek. Pada masa ini perempuan cenderung diperlakukan sebagai barang.
 Ada beberapa perbedaan mencolok terkait dengan perlakuan terhadap perempuan pada masa pra dan pasca Islam, di antaranya:
Pra Islam
Pasca Islam
Perempuan adalah manusia yang tidak dikenal dalam UU karena dianggap bukan makhluk hukum sehingga tidak diatur dalam perundang-undangan
Perempuan dilindungi oleh al-Qur’an dan sunah
Perempuan dianggap sebagai harta sehingga dapat diperlakukan sesuka hati oleh suami sebagai pemiliknya.
Perempuan memiliki kebebasan dalam rumah tangga termasuk dalam menentukan pasangan hidup.
Perempuan tidak memiliki hak cerai sehingga harus menerima apapun perlakuan dari suaminya tanpa bisa melepaskan diri dari ikatan perkawinan yang menyiksanya
Perempuan juga memiliki hak untuk mengajukan cerai apabila memang ada alasan yang dibenarkan oleh agama
Perempuan tidak memiliki hak waris, malah merupakan barang yang diwariskan
Perempuan memiliki hak waris dan hak untuk memiliki harta, baik yang diperoleh dari warisan maupun mahar
Perempuan tidak memiliki hak untuk membelanjakan harta.
Perempuan berhak terhadap harta yang ia miliki
Perempuan tidak berhak mengasuh anaknya, karena anak dianggap milik keluarga laki-laki.
Perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki hak hadhanah terhadap anak mereka
Penguburan bayi perempuan, karena dianggap sebagai aib keluarga
Perempuan sama halnya dengan laki-laki memiliki hak untuk hidup

Inilah beberapa hal yang memperlihatkan perbedaan perlakuan terhadap perempuan pada masa pra dan pasca Islam. Namun dewasa ini, kondisi ini terkadang masih bisa ditemui. Sebagai contoh di beberapa negara di Asia Selatan, kelahiran anak laki-laki dianggap lebih terhormat daripada anak perempuan.

2.      Kemitraan Antara Suami Istri dalam Perspektif Islam dan Undang-undang
Pada dasarnya konsep hubungan suami dan istri yang ideal menurut islam adalah konsep kemitrasejajaran atau hubungan yang setara.[1] Sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firman-Nya:
 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3
Artinya: ….. mereka (perempuan) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka (perempuan). (QS. Al-Baqarah/2: 187)

Yang ingin dikatakan melalui ayat ini (ideal moralnya) adalah bahwa pada prinsipnya posisi laki-laki maupun perempuan adalah setara.[2] Prinsip kesetaraan ini selaras dengan bunyi ayat berikut:


                                            
ÆtBur ö@yJ÷ètƒ z`ÏB ÏM»ysÎ=»¢Á9$# `ÏB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB y7Í´¯»s9'ré'sù tbqè=äzôtƒ sp¨Yyfø9$# Ÿwur tbqßJn=ôàム#ZŽÉ)tR ÇÊËÍÈ  
Artinya: Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. (QS. An-Nisa’/4: 124)

Islam memberikan pembedaan (distinction), bukan perbedaan (Discrimination) antara laki-laki dan perempuan. Dasar pembedaan tersebut didasarkan atas kondisi objektif, fisik-biologis perempuan yang ditakdirkan berbeda dengan laki-laki. [3] Jadi pada asasnya pembedaan tersebut hanya bersifat kodrati dan alamiah yang oleh kalangan feminis disebut dengan sex. Islam tidak mengakui adanya diskriminasi peran antara laki-laki dan perempuan, baik dalam lapangan pendidikan, ekonomi, sosial maupun politik.
Prinsip kemitraan ditunjukkan oleh Rasul dalam kehidupannya sehari-hari. Seperti apa yang dituturkan oleh Aisyah bahwa Rasul sering menjahit baju, menjahit kembali sandal yang rusak dan mengerjakan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh perempuan di rumah.
Sejarah Rasul pun sudah jelas menunjukkan adanya kemitraan dalam melakukan pekerjaan rumah tangganya. Misalnya realita bahwa Khadijah yang menyokong kehidupan dan dakwah Rasulullah. Rasul sangat mengandalkannya, baik dari segi pemikiran maupun ekonomi.
Mengenai kewajiban suami dan istri, Islam telah memberi batasan yang jelas. Bila perempuan dituntut melakukan sesuatu, maka begitu pula lelaki. Ini selaras dengan ayat:
 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3
Artinya: Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya… (QS. Al Baqarah; 228)

Dalam kitab Tafsir karya Al-Shabuni disebutkan bahwa maksud dari ayat di atas yaitu laki-laki dibebani kewajiban terhadap istrinya sebagaimana sang istri juga menanggung kewajiban dan hak yang seimbang.[4]
Mengenai peran dalam rumah tangga, Fuqaha sepakat bahwa suami bertugas memberi nafkah keluarganya dan untuk peran istri ada perbedaan pendapat. Sa’id Abu Habib (1987) mengatakan bahwa pelayanan yang dalam bentuk pekerjaan rumah tangga dihukumi mubah, sedang an-Nawawi mengatakan hal itu termasuk sedekah.[5] Meskipun dengan tidak adanya batasan yang tegas, maka yang terpenting adalah bagaimana kedua manusia yang sepakat membentuk rumah tangga tersebut, berupaya mencapai keluarga yang penuh kedamaian.
Apabila masalah kesetaraan peran antara suami istri (hak dan kewajiban) ditinjau dari hukum positif, maka Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yang akan berbicara mengenai hal itu. Beberapa pasal dan bab tentang hak dan kewajiban suami istri yaitu mencerminkan kedudukan seorang istri yang hak-haknya sebagai ibu rumah tangga seimbang dengan kewajiban-kewajiban terhadap suami sebagai kepala rumah tangga.[6]
Untuk lebih jelasnya dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam diatur hal-hal sebagai berikut:
·         Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga (pasal 31 (1) dan (3) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 79 KHI).
·         Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, wasiat, sedekah atau lainnya (pasal 31 (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 87 ayat 2 KHI).
·         Pada dasarnya tidak ada percampuran harta antara suami istri karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, begitu juga harta suami tetap menjadi hak suami dan berhak dikuasai sepenuhnya (pasal 86 KHI).
·         Harta benda yang diperolaeh selama perkawinan menjadi harta bersama (pasal 35 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974).
Jika dilihat sepintas lalu konsep perkawinan yang mengedepankan kesetaraan terasa baik dan menjanjikan sebuah kebahagiaan yang ideal, baik dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat. Dan relasi dalam rumah tangga yang diinginkan adalah setara, dan untuk mengokohkan pendapat demikian gagasan fiqh Islam yang established dalam relasi suami istri direkonstruksi agar sejalan dengan gagasan kesetaraan.

3.      Kesetaraan dalam Perspektif Feminis
a.      Definisi Gender
Konsep mendasar yang ditawarkan oleh feminisme untuk menganalisis masyarakat adalah gender. Pemakaian kata gender dalam feminisme mula pertama dicetuskan oleh Anne Oakley. Dia memulainya dengan mengajak warga dunia untuk memahami bahwa sesungguhnya ada dua istilah yang serupa, tapi tidak sama, yaitu sex dan gender. Selama ini masyarakat menganggap kedua istilah itu sama saja, yaitu sebagai sesuatu yang harus diterima secara taken for granted (menganggap sudah semestinya begitu).[7]
Dalam Oxford Learner’s Pocket Dictionary disebutkan bahwa sex is state of being male or female.[8] Sex dalam bahasa Inggris diartikan sebagai jenis kelamin, yang menunjukkan adanya penyifatan dan pembagian dua jenis kelamin manusia secara biologis, yaitu laki-laki dan perempuan. Para feminis, di antaranya Simone de Beauvoir, Christ Weedon dan Barbara Lloyd sepakat bahwa pada dataran ini, ada garis yang bersifat nature, di mana laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik tertentu yang melekat pada masing-masing secara permanen, kodrati dan tidak bisa dipertukarkan satu dengan lainnya.[9] Ciri-ciri pengenal itu terberi, tidak dapat diubah dan kodrati sifatnya.[10]
Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa.[11]
Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah bahwa pada tataran sex, antara lelaki dan perempuan tidak bisa dipertukarkan karena merupakan kodrat manusia yang diberikan Allah sejak lahir dan bersifat natural. Adapun hal-hal yang terkait dengan gender bisa dikompromikan sebab merupakan hasil produk budaya yang antara satu dengan lainnya tak sama dan kadang kala berubah seiring berlalunya waktu dan kemajuan yang dicapai.
b.      Konsep Gender dalam Ranah Rumah Tangga
Gender merupakan konsep baru yang muncul sebagai respons terhadap fenomena diskriminasi di masyarakat, baik dalam bidang pendidikan, hukum, sosial maupun ekonomi. Konsep gender dikemukakan dalam rangka menanggalkan tradisi yang telah mengakar kuat di masyarakat. Tradisi yang menganggap bahwa wanita adalah makhluk lemah sehingga sepatutnya hanya mengelola urusan domestik keluarga. Dan suamilah yang berkuasa menentukan kebijakan keluarga. Dalam hal ini suami menduduki jabatan sebagai kepala keluarga, sementara istri sebagai ibu rumah tangga sebagaimana yang tercantum dalam pasal 31 UU Perkawinan.
Berawal dari asumsi di atas, lantas akan dipandang miring bagi seorang istri yang turut berkarier di luar, sedangkan suaminya sibuk menyelesaikan urusan rumah tangga, mulai dari mencuci, memasak hingga menyapu. Si istri akan dikecam sebagai istri yang tidak berbakti kepada suami. Demikian juga dengan suami yang akan diklaim tak mampu menghidupi keluarganya.
Dilihat dari perspektif gender, hal di atas bukanlah permasalahan krusial. Sebab peran lelaki dan wanita dalam rumah tangga termasuk dalam kajian gender yang sewaktu-waktu bisa beralih peran tanpa mempertimbangkan jenis kelamin keduanya. Di sini para feminis mengkritisi kebijakan pemerintah, termasuk yang tertuang dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan.
Berbagai ketentuan dalam UU Perkawinan juga mencerminkan bahwa yang diutamakan adalah kepentingan yang dianggap mewakili kepentingan umum, tetapi yang menjadi penentu adalah kepentingan masyarakat patriakhis.[12] Seperti pasal 31 (3) dan pasal 34. “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.” Di dalam pasal tersebut terdapat pembedaan peran suami dan istri.
Ketentuan tentang fungsi bapak yang dalam undang-undang ditentukan sebagai kepala keluarga, mempunyai dampak bahwa dalam praktik, status lajang diberikan kepada wanita kawin yang menjadi tenaga kerja. Aturan ini memperoleh pengabsahan dan memperkuat pandangan masyarakat bahwa wanita seyogianya harus menghabiskan waktu di rumah.[13]
Implikasi rumusan yang sangat jenderistik dalam pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 mengandung arti bahwa sebagai istri, perempuan menjadi sangat bergantung (setidaknya secara ekonomis) kepada suaminya.[14] Akhirnya timbul kesan bahwa suamilah yang menghidupi istri sehingga berhak berbuat atas istri dalam hal apapun.


B.     ANALISIS PERALIHAN PERAN WANITA
Belakangan ini sering dijumpai istri yang bekerja keras membanting tulang demi memenuhi kebutuhan keluarga, baik pekerjaan itu terhormat maupun tidak. Betapa banyak ditemukan wanita basah akan keringat tatkala memenuhi kewajibannya sebagai buruh pabrik.  Di samping itu, tak sedikit pula wanita karier yang sebagian waktu dihabiskan di kantor, sementara suaminya berdiam diri di rumah seraya mengurus anak mereka. Memang ada banyak alasan yang melatarbelakangi mereka memutuskan demikian.
Dari deskripsi singkat di atas, diketahui bahwa pada era sekarang terjadi peralihan peran antara laki-laki yang notabene sebagai suami dan wanita yang tak lain adalah seorang istri. Padahal jelas dikatakan dalam al-Qur’an dan hukum positif bahwa yang dibebani kewajiban mencari nafkah yaitu suami. Sedangkan istri wajib taat kepada suami dan mengurus anak. Lalu bagaimana Islam menyikapi hal demikian? Apakah secara serta-merta kewajiban suami gugur setelah istri menggantikan peran suami sebagai tulang punggung keluarga?
Dalam menganalisis kasus di atas, ayat tentang kepemimpinan tak bisa dinafikan, yakni:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$#
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (QS. Al-Nisa’/4: 34)

Dalam memahami QS. 4: 34, para mufassirin menafsirkan bahwa kepemimpinan dalam keluarga merupakan sesuatu yang given untuk laki-laki/suami. Alasan utama mengapa suami dengan sendirinya sebagai pemimpin keluarga adalah karena adanya fadl (kelebihan) yang dimilikinya atas wanita, yang dianggapnya sebagai sesuatu yang mutlak. Di samping itu, infaq atau pemberian nafkah yang dibebankan kepada lelaki atas istri dan anggota keluarga yang lain juga sebagai alasan mengapa mereka (suami) yang harus memegang kekuasaan dalam keluarga.[15]
Kalau memang kepemimpinan itu mutlak milik laki-laki, akan mungkin terjadi bahwa pemimpin tidak memiliki kriteria sebagai pemimpin. Akibatnya, kepemimpinan keluarga tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini akan berbeda jika kepemimpinan didasarkan atas kriteria fadl dan infaq. Dengan memiliki fadl dan infaq seorang pemimpin akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Fadl lebih tepat diartikan sebagai kelebihan sebagian manusia atas sebagian yang lain, karena ayat tersebut tidak secara tegas menyebutkan laki-laki atas wanita.[16]
Mengenai posisi kepala rumah tangga, sebenarnya Islam memberi posisi yang sama kepada suami maupun istri. Masing-masing menduduki posisi kepala rumah tangga, hanya bidangnya berbeda sesuai dengan kodratnya. Laki-laki memegang urusan keluar, sedang istri memegang urusan ke dalam. Sungguh ini merupakan aturan modern yang dimuat oleh prinsip-prinsip manajemen modern, yaitu ”the right man in the right place”, di samping adanya pembagian tugas pekerjaan secara spesifik.[17]
Dari uraian di atas dapat ditarik konklusi bahwa secara umum lelaki mempunyai kelebihan dibanding perempuan, namun hal ini tidak bisa menggeneralisir adanya hak memimpin di tangan lelaki. Tidak menutup kemungkinan seorang istri yang lebih banyak berperan dalam keluarga. Dia lebih berkompeten memimpin keluarga karena faktor fadhl dan kemampuannya menanggung beban ekonomi keluarga. Oleh karena itu, perempuan juga bisa menjadi pemimpin keluarga. Akan tetapi Islam sangat mengedepankan asas musyawarah, sehingga siapa pun yang memimpin keluarga hendaknya di antara keduanya terjalin komunikasi yang baik. Sebab pada dasarnya sakinah, mawaddah dan rahmah yang diharapkan dalam sebuah ikatan pernikahan.

PENUTUP
A.    Kesimpulan
Islam sebagai agama yang mengedepankan asas rahmatan lil ‘alamin, memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada perempuan. Ini berbeda dengan agama dan tradisi umat dahulu yang cenderung menganggap perempuan sebagai komoditas barang yang tak terlalu berarti. Salah satu bukti konkret akan hal itu adalah penempatan perempuan pada posisi yang sama dengan lelaki dalam rumah tangga. Artinya keduanya berjalan seirama tanpa ada yang dilebihkan.
Silang pendapat muncul ketika membicarakan tentang kesetaraan dan kemitraan dalam rumah tangga. Dalam makalah ini disajikan dalam 3 perspektif: Pertama, dilihat dari perspektif Islam, suami dan istri mempunyai derajat yang sama. Hak dan kewajiban mereka pun seimbang. Hanya saja kesetaraan di sini bukan secara mutlak sebagaimana ungkapan the right man in the right place. Kedua, dilihat dari sudut pandang hukum positif, makna kesetaraan hampir sama dengan yang terkandung dalam ajaran Islam. Oleh pemerintah kesetaraan ini dipertegas dengan munculnya UU Perkawinan. Ketiga, menurut kaum feminis, kesetaraan merupakan kajian gender sehingga tidak menutup kemungkinan adanya peralihan peran. Istri tidak selamanya di rumah, begitu pula suami tidak harus selalu mencari nafkah.

B.     Saran
Hendaknya kesetaraan tidak dijadikan sebagai alasan pembenar untuk berbuat semena-mena dalam rumah tangga. Yang terpenting dalam sebuah ikatan perkawinan adalah tercapainya misi sakinah, mawaddah wa rahmah. Suami dan istri harus bersikap bijaksana, dewasa dan memikirkan masa depan keluarganya.

DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hamidani, Al.  Risalah Nikah. 2002. Jakarta: Pustaka Amani.
Ihromi, Tapi Omas, dkk. 2006. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan. Bandung: PT Alumni.
Istiadah.  1999. Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam  Islam. Jakarta: The Asia Foundation.
Kompilasi Hukum Islam.
Munti,  Batara Ratna. 1999. Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga, Jakarta: The Asia Foundation.
Muslikhati, Siti. 2004. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Umar, Nasaruddin, dkk. 2002. Bias Jender dalam Pemahaman Islam. Yogyakarta: Gama Media.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
–––––––. 2008. Oxford Learner’s Pocket Dictionary. New York: Oxford University Press.






[1] Ratna Batara Munti, Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga, Jakarta: The Asia Foundation, 1999, hal. 56.
[2] Ibid, hal. 59.
[3] Wahid Zain, dkk, Memposisikan Kodrat, Bandung: Mizan, 1999, hal. 102.
[4] Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan Jilid 1, Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2001, hal. 254.
[5] Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam  Islam, Jakarta: The Asia Foundation, 1999. Hal. 47
[6] Al Hamidani, Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani, 2002.  hal 185
[7] Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, hal. 19.
[8] –––––––, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New York: Oxford University Press, 2008, hal. 403.
[9] Siti Muslikhati, Feminisme............., hal. 19-20.
[10] Tapi Omas Ihromi, dkk, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan. Bandung: PT Alumni,2006, hal. 71.
[11] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 8.
[12] Tapi Omas Ihromi, dkk, Penghapusan............., hal. 69.
[13] Ibid, hal. 69-70.
[14] Ibid, hal. 116.
[15] Nasaruddin Umar, dkk, Bias Jender dalam Pemahaman Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal. 86.
[16] Ibid, hal. 88.
[17] A.  Wahid Zaini, memposisikan kodrat...,hal. 140

No comments:

Post a Comment