Thursday, June 2, 2011

Hukum Adat dalam Perspektif Masa Kini dan Akan Datang


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ada banyak istilah yang dipakai untuk menamai hukum lokal,  hukum tradisional, hukum adat, hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia. Bagaimana tempat dan bagaimana perkembangannya hukum adat dalam masyarakat tergantung kesadaran, paradigma hukum, politik hukum dan pemahaman para pengembangnya yaitu politisi, hakim, pengacara, birokrat dan masyarakat itu sendiri. Hukum ada dan berlakunya tergantung kepada dan berada dalam masyarakat.
Hukum adat sebenarnya berpautan dengan suatu masyarakat yang masih hidup dalam taraf subsistem, hingga kecocokannya untuk kehidupan modern ini mulai dipertanyakan. Dan dalam perkembangannya dewasa ini banyak dipengaruhi oleh, politik hukum yang dianut oleh negara dan metode pendekatan yang digunakan untuk menemukan hukum adat.
Hukum adat karena sifatnya yang tidak tertulis, majemuk antara lingkungan masyarakat satu dengan lainnya, maka perlu dikaji perkembangannya. Pemahaman ini akan diketahui apakah hukum adat masih hidup , apakah sudah berubah, dan ke arah mana perubahan itu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari hukum adat?
2.      Bagaimana perkembangan hukum adat pada masa kini dan masa yang akan datang?
3.      Bagaimana eksistensi hukum adat terhadap otonomi daerah?

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Adat
Hukum adat yaitu hukum yang dibangun berdasarkan paradigma atau nilai-nilai: harmoni, keselarasan, keutuhan menentukan corak, sifat, karakter hukum adat. Hukum adat merupakan istilah tehnis ilmiah, yang menunjukkan aturan-aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak berbentuk peraturan-perundangan yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan.
Dalam pengertian yang lain hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia “menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat” yaitu hukum yang tidak tertulis tidak mengurangi peranannya dalam memberikan penyaluran dari kebiasaan, kepentingan-kepentingan yang tidak diucapkan dalam hukum tertulis.
Umumnya meninggalkan adat tidak dikenakan hukuman atau dicela oleh anggota masyarakat lainnya, hanya saja dianjurkan sebaiknya dijalankan. Jadi konsekuensi logisnya masih bersifat normatif. Bagaimana dengan hukum Adat yang berlaku di Indonesia yaitu sejauh suatu komunitas masih sepakat secara bersama-sama diamalkan, maka kebiasaan yang turun temurun itu masih tetap diberlakukan. Seperti halnya hukum Adat berupa Sumpah Pocong yang diberlakukan terutama di daerah-daerah pesisir utara Jawa-Timur, masyarakat masih tetap meyakini bahwa hukum Adat yang diberlakukan bagi mereka yang dicurigai mempraktekkan ilmu hitam seperti tenung, jengges dan semacamnya masih dianggap efektif dikenai hukum itu untuk menjawab keraguan masyarakat akan perbuatan melawan hukum adat yang modusnya dianggap berdampak pada keselamatan korbannya.

Tetapi sebagian besar masyararakat Indonesia secara perlahan-lahan telah meninggalkan cara-cara yang dianggap kurang masuk akal itu dan diganti dengan hukum-hukum positif rasional yang diakui oleh semua kalangan masyarakat dari beragam suku, ras dan agama yaitu berupa undang-undang hukum pidana dan perdata. Dengan adanya kedua undang-undang itu sebagian masyarakat Indonesia menyakini bahwa ikatan hukum itu bisa diterima oleh semua pihak.

B.     Perkembangan Hukum Adat pada Masa Sekarang dan yang Akan Datang
Perkembangan hukum adat dalam masyarakat, oleh Prof. Van Vallenhoven dirumuskan: Jikalau dari atas (penguasa) telah diputuskan untuk mempertahankan hukum adat padahal hukum itu sudah mati, maka penetapan itu akan sia-sia belaka. Sebaliknya seandainya telah diputuskan dari atas bahwa hukum adat harus diganti, padahal di desa-desa, di ladang-ladang dan di pasar-pasar hukum itu masih kokoh dan kuat, maka hakim-pun akan sia-sia belaka. Dengan kata lain memahami hukum adat harus dilakukan secara dinamik, dan selaras antara atas yang memutuskan dan bawah yang menggunakan agar dapat diketahui dan dipahami perkembangannya.
Mengenai perkembangan baru dalam hukum adat, diketengahkan teori oleh Prof Koesnoe, yang menyatakan bahwa perkembangan hukum adat itu mencakup :
1. Pengertian daripada hukum adat.
2. Kedudukan hukum adat.
3. Isi dan lingkungan kuasa atas orang dan ruang.

Perkembangan hukum adat dapat digambarkan sebagai berikut :
1
Perkembangan awal
Adat yang mempunyai sanksi
2
Berkembang
Segala keputusan-keputusan yang diambil penguasa adat dalam lingkungan masyarakat dan dalam hubungannya dengan ikatan struktural masyarakatnya.
3
Setelah itu
Hukum adat dilihat sebagai hukum yang lahir langsung dari pikiran dan cita-cita serta kebutuhan rakyat Indonesia.
4
Akhirnya
Hukum yang lahir dari kepribadian bangsa Indonesia, singkatnya hukum nasional bangsa kita atau hukum asli Indonesia.
Hukum adat sebagai hukum nasional bangsa Indonesia, atau hukum asli Indonesia perlu dirumuskan konsepnya secara jelas, dengan menyegarkan kembali pemahaman atas akar hakekat sumber hukum adat, dengan skema, sebagai berikut:
Ranah
Nilai
Penyeleseian
Genus
Nilai Primer
Harmoni
Species
Nilai Sekunder
Rukun, patut, selaras
Yang mana Corak hukum adat telah diubah dari religio-magis, komun, konkrit, kontan yang bersifat tradisional-agraris, maka guna memenuhi kebutuhan dan tuntutan perkembangan masyarakatnya.
Perkembangan atas kedudukan hukum adat
1
Perkembangan awal
Hukum untuk golongan tertentu; golongan masyarakat asli, timur asing tertentu
2
Perkembangan
Hukum yang membawa bentuk semangat kebangsaan
3
Perkembangan selanjutnya
Hukum Nasional
4
Akhirnya
Hukum Pancasila
Perkembangan hukum adat atas lingkungan kuasa atas orang dan ruang.
1
Perkembangan awal
Diisi dalam taraf ilmu pengetahuan sesuai dengan waktunya, dengan ketentuan yang letaknya pada taraf kebiasaan dari golongan suku-suku yang ada
2
Perkembangan
Ditarik kepada pokok-pokok ketentuan yang abstrak, sehingga diversitas isinya menjadi tampak berkurang
3
Perkembangan selanjutnya
Ditarik lebih jauh lagi yakni kepada azas-azas hukum adat.
4
Akhirnya
Diarahkan kepada nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Semakin abstrak pengisiannya, semakin lebih luas daya mencakup lingkungan kuasa atas orang dan ruangnya sehingga akhirnya berlaku secara Nasional
Sumbangsih hukum adat bagi pembentukan hukum nasional, adalah dalam hal pemakaian azas-azas, pranata-pranata dan pendekatan dalam pembentukan hukum. Sumbangsih hukum adat misalnya dalam kontrak bagi hasil (bidang perminyakan), bidang hukum tanah dan hukum perumahan (khususnya rumah susun) dan azas pemisahan horizontal dapat digunakan dalam pembentukan hukum nasional.
Hukum adat dengan ciri dan sifatnya serta unsur-unsur yang melekat dalam hukum tersebut, maka hukum adat mampu berkembang sesuai dengan serta mengikuti kebutuhan dan perkembangan zaman. Perkembangan hukum adat dapat dilihat dari substansinya dan melalui sumber-sumber hukum yang tersedia. Oleh karena itu substansi dan pengakuan hukum adat dapat tercermin dalam :
1.             Dalam Dokrin
Prof Satjipto Raharjo:
Hukum adat dalam hubungannya dengan industrialisasi, maka bisa menggunakan pendekatan fungsional. Artinya, kehadiran hukum dalam masyarakat menjalankan fungsinya sebagai sarana penyalur proses-proses dalam masyarakat sehingga tercipta suasana ketertiban tertentu. Hukum lalu menjadi kerangka bagi berlangsungnya berbagai proses tersebut sehingga tercipta suatu suasana kemasyarakatan yang produktif.
2.             Dalam Perundang-undangan
Perundang-undang merupakan produk formil hukum yang dibuat oleh badan yang berwenang, muatan materi yang diatur dalam perundang-undangan adalah termasuk mengatur hukum yang bersumber pada hukum adat.
3.             Dalam yurisprudensi
4.             Kebiasaan (convention, customary law, common law)
5.             Dalam hukum lunak (soft law)

C.    Eksistensi Hukum Adat Terhadap Otonomi Daerah
Sebagian besar masyarakat adat di Indonesia telah menjadi korban dari pembangunan yang sejatinya dimaksudkan untuk mensejahterakan rakyat. Dalam  perkembangannya selama lebih dari 20 tahun terakhir, pembangunan mendapat kritik dan perlawanan dari hampir seluruh kelompok rakyat marjinal dan para pendukungnya. Kritik dan perlawanan inilah yang kemudian direspon oleh para elit politik dengan pendekatan yang dangkal dan parsial, yaitu dengan mengedepankan konsep pembangunan berkelanjutan, suatu upaya untuk "mendamaikan" konflik antara pertumbuhan ekonomi dengan konservasi alam. Pendekatan baru ini, yang juga meneruskan cara pandang bahwa alam (sebagai ekosistem) hanyalah barang ekonomi yang dinilai dengan uang (valuasi).
Di tengah pemberlanjutan 'ideologi' pembangunan ekspolitatif yang diwariskan dari rezim Orde Baru Soeharto-Habibie kepada           KH. Abdurrahman Wahid dan kemudian ke Megawati Sukarno Putri, reorganisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui otonomi daerah telah menjadi tema sentral di seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat adat. Dalam otonomi daerah, yang secara formal ditandai dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, ada kehendak dari para pembuatnya untuk memperbaharui hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah melalui penyerahan kewenangan pusat ke daerah atau desentralisasi, antara eksekutif (PEMDA) dengan legislatif (DPRD) melalui "kemitraan sejajar" di antara keduanya, dan terakhir mendekatkan secara politik dan geografis antara penentu kebijakan (yang kewenangannya diserahkan ke DPRD dan PEMDA Kabupaten) dengan rakyat sehingga diharapkan kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat hidup rakyat banyak.
 Akan tetapi, dalam UU otonomi daerah ini baru mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, belum menyentuh pada persoalan mendasar tentang hubungan rakyat dengan pemerintah yang selama Orde Baru justru merupakan akar dari segala persoalan yang dihadapi masyarakat adat, yaitu tidak adanya kejelasan dan ketegasan batas sampai di mana pemerintah boleh (punya hak) mengatur dan mengintervensi kedaulatan masyarakat adat. Yang muncul sebagai akibat dari ketidaktegasan dan ketidakjelasan ini adalah tumbuh-suburnya perilaku politik pengurasan di kalangan elit politik, khususnya para bupati yang mendapatkan penambahan wewenang yang cukup besar. Para bupati berlomba-lomba mengeluarkan PERDA untuk menarik Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebanyak-banyaknya dari berbagai macam sumber.
Dalam perjalanan otonomi daerah selama dua tahun terakhir ini adalah bahwa bertambahnya kekuasaan/wewenang di tangan para Bupati dan DPRD bukan berarti dengan sendirinya mengurangi kekuasaan/wewenang pemerintah pusat di daerah atas sumberdaya alam.
Di sisi lain, "reformasi" yang ditandai dengan mulai tumbuhnya kesadaran politik rakyat disertai dengan melemahnya institusi negara juga telah mendorong dinamika politik lokal yang memberi ruang partisipasi politik bagi masyarakat adat, baik melalui mekanisme politik yang formal maupun yang informal. Akan tetapi, dalam kenyataannya terdapat banyak konflik-konflik terbuka yang mana tidak mampu diselesaikan oleh tatanan hukum dan kelembagaan negara yang ada saat ini (masih warisan dari Rezim Orde Baru).
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
  
ANALISIS
Adat adalah hukum. Unsur pembentukannya adalah pembiasaan dalam kehidupan manusia, yang dilakukan secara terus-menerus dan menjadi kelaziman yang diturut atau dilakukan sejak dahulu kala.
Adat yang berisi kebiasaan yang baru atau sifatnya sementara disebut mode (dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai Fashion) atau fad (kesukaan sementara). Sedangkan adat yang telah melembaga dan berjalan dalam waktu yang lama, serta dituruti secara turun temurun disebut “tradisi”.
                        Adat dahulu dengan adat sekarang atau adat yang akan datang  akan berbeda sesuai dengan zaman yang mempengaruhi karena adat tersebut juga menyesuaikan dengan adanya zaman yang ada, dengan perubahan zaman tersebut adat tidak bisa semena-mena untuk di terapkan walaupun itu tidak semuanya. Jadi adat bisa tergeser sedikit demi sedikit untuk tidak di gunakan lagi, sehingga apa yang dianggap terdapat nilai positifnya bisa lebih dikembangkan lagi, bagaimanapun juga hukum adat bisa di jadikan sebagai sumber hukum walaupun tidak tertulis seperti pada Undang-Undang yang ada di Indonesia.
Sebagian besar masyarakat Indonesia secara perlahan-lahan telah meninggalkan cara-cara yang dianggap kurang masuk akal itu dan diganti dengan hukum-hukum positif rasional yang diakui oleh semua kalangan masyarakat dari beragam suku, ras dan agama yaitu berupa undang-undang hukum pidana dan perdata. Dengan adanya kedua undang-undang itu sebagian masyarakat Indonesia meyakini bahwa ikatan hukum itu bisa diterima oleh semua pihak.

PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat simpulkan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis tidak mengurangi peranannya dalam memberikan penyaluran dari kebiasaan, kepentingan-kepentingan yang tidak diucapkan dalam hukum tertulis yang mana apabila meninggalkan adat tidak dikenakan hukuman atau dicela oleh anggota masyarakat lainnya, hanya saja dianjurkan sebaiknya dijalankan.
Dalam perkembangannya hukum adat yang sekarang atau adat yang akan datang berbeda sesuai dengan zaman yang mempengaruhi karena adat tersebut juga menyesuaikan dengan adanya zaman yang ada.

No comments:

Post a Comment