Tuesday, May 24, 2011

Hak Adat - Agraria


PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah
Hak-hak tanah sebelum dan sesudah berlakunya UUPA bisa dikatakan dengan istilah serupa tapi tidak sama. Karena kedua hak tanah tersebut memiliki kesamaan, hanya yang membedakannya adalah ketika adanya penyesuaian peraturan yang dianggap kurang sesuai atau kurang lengkap terhadap masyarakat Indonesia.
Pengetahuan akan hak tanah sebelum adanya UUPA memberikan gambaran bagi kita bagaimana terbentuknya berbagai macam hak yang ada yang telah berlaku sekarang ini. Semua itu tidak lepas dari sejarah yang telah mendahuluinya,  sehingga baik sejarah  hak adat dan hak barat sangat penting untuk diketahui dalam upaya pemahaman hukum agraria di Indonesia.
Terbentuknya hak-hak adat dan hak-hak barat di Indonesia sebelum berlakunya UUPA tidak terlepas dari keberadaan  hukum yang juga berlaku pada waktu itu yang mana tanpa disadari mempengaruhi sebagian besar hak dan wewenang penguasa hukum baik dari orang Indonesia sendiri maupun dari kolonial Belanda. Yang mana pada akhirnya membentuk ciri khas hukum agraria tersendiri  yang berlaku sekarang.
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana sejarah hak adat ?
2.      Apa saja hak adat tersebut ?
3.      Mengapa hak barat berlaku di Indonesia ?
4.      Apa saja hak barat yang ada di Indonesia ?
C.     Tujuan masalah
1.      Memahami makna hak adat dan sejarahnya di Indonesia.
2.      Mengetahui berbagai hak adat yang ada di Indonesia.
3.      Mengetahui sebab terjadi dan berlakunya hak  barat di Indonesia.
4.      Mengetahui berbagai hak barat yang berlaku di Indonesia.

PEMBAHASAN
A.    HAK ADAT
Keadaan hukum tanah Indonesia sebelum Undang-Undang Pokok Agraria adalah bersifat pluralis, yang terdiri dari:
·         Hukum Tanah Adat, yakni tanah-tanah dengan hak Indonesia
·         Hukum Tanah Barat, yakni tanah-tanah dengan hak barat
·         Hukum Tanah Antar Golongan
·         Hukum Tanah Administratif
·         Hukum Tanah Swaparaja, yaitu tanah-tanah yang pada jaman Hindia-Belanda merupakan daerah raja-raja. [1]
Dalam realitas sejarah pertanahan di Indonesia, sebagian terbesar hak tanah perseorangan yang terdapat dalam komunitas masyarakat adalah tanah hak milik adat. Pemilikan itu berlangsung turun-temurun bahkan sejak sebelum jaman penjajahan. Masyarakat adat memiliki tradisi yang berlaku sebagai kaidah sosial di dalam kehidupan mereka, dipatuhi dan dipelihara sebagai suatu norma hukum.
Van vollenhoven membagi wilayah Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat. Walaupun diantara masyarakat hukum adat dalam hal-hal tertentu masing-masing memiliki tradisi berbeda yang mencirikannya, tetapi dalam banyak hal memiliki kesamaan. Kesamaan yang mendasar sebagai sesuatu persekutuan hukum adat yakni adanya kekuasaan lembaga persekutuan terhadap lingkungannya yang merupakan hak pertuanan, yang dikenal secara umum dalam perundang-undangan sebagai hak ulayat. Pada sisi lain anggota masyarakat adat secara perorangan mendapatkan hak untuk menguasai dan memanfaatkan sumber daya alam untuk kepentingan hidupnya sesuai dengan aturan yang berlaku.[2]
Secara tradisional hak dan kewajiban anggota masyarakat adat mempunyai istilah yang berbeda walaupun dalam hal tertentu memiliki ciri yang sama.
 Hubungan hidup manusia dalam suatu masyarakat adat dengan tanah dimana mereka berdiam bersifat magis-religius. Tanah menjadi sumber kehidupan, tempat mereka dilahirkan, tanah dimana mereka dimakamkan bahkan tempat kediaman roh-roh halus dan arwah para leluhurnya.
Terdapat pluralisme dalam hukum adat, karena disamping terdapat kesamaan juga terdapat perbedaan menurut wilayah/bagian-bagian daerah di Indonesia. Berbagai sebutan tanah hak-hak Indonesia yang dikategorikan hak milik berbeda antara yang satu dengan yang lainnya seperti milik, yasan, rpekulen. Selain itu juga dikenal tanah hak milik berdasarkan surat-surat bukti pajak hasil bumi seperti letter C, petuk pajak bumi, girik, rincik, landrente.[3]
Dalam perjalanan waktu seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat, dinamika pemilikan tanah terus berlangsung dan terjadi derivasi hak milik yang dikenal dalam berbagai istilah seperti tilaran, pusaka, sangkolan, turunan, maana, budel, dan sebagainya.

Adapun macam-macam Hak Adat sebelum UUPA adalah sebagai berikut:
1. Hak Ulayat.
Hak ulayat adalah suatu sifat komunaltistik yang menunjuk adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. Tanah tersebut merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama. Dalam pelaksanaannya, kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat yang teritorial (Desa, Marga magari, hutan) bisa juga merupakan masyarakat hukum adat geneologik atau keluarga, seperti suku.[4]
Para warga sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, namun tidak ada kewajiban untuk menguasai dan menggunakannya secara kolektif. Oleh karena itu penguasaan tanahnya dirumuskan dengan sifat individual.
Hak individual tersebut bukanlah semata-mata bersifat pribadi, karena didasari bahwa yang dikuasai dan digunakan itu adalah sebagian dari tanah bersama. Oleh karena itu dalam penggunaannya tidak boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi semata-mata, melainkan juga harus diingat akan kepentingan bersama, yaitu kepentingan kelompok, sehingga sifat penguasaannya mengandung apa yang disebut dengan unsur kebersamaan. 
Oleh sebab itu, hak bersama yang merupakan hak ulayat itu bukan hak milik dalam arti yuridis, akan tetapi merupakan hak kepunyaan bersama, maka dalam hak ulayat dimungkinkan adanya hak milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.[5]

a.       Tanda-tanda dan Ciri Hak Ulayat.
  • Persekutuan hukum itu dan dan anggota-angotanya dapat mempergunakan tanah atau hutan belukar di dalam wilayahnya dengan bebas. Misalnya, membuka tanah, mendirikan perkampungan atau memungut hasilnya.
  • Yang bukan anggota dari persekutuan hukum dapat mempergunakan hak itu, tetapi harus seizin dari persekutuan hukum tersebut.
  • Dalam mempergunakan tanah itu bagi yang bukan anggota selalu harus membayar recognitie.
  • Persekutuan hukum mempunyai tanggung jawab atau beberapa kejahatan tertentu yang terjadi dalam lingkungan wilayahnya bilamana orang yang melakukan kejahatan itu sendiri tidak dapat digugat.
  • Persekutuan hukum tidak boleh memindahkan haknya untuk selama-lamanya kepada siapa pun.
  • Persekutuan hukum mempunyai hak campur tangan terhadap tanah-tanah yang telah digarap. Misalnya, dalam pembagian pekarangan atau dalam jual beli.[6] 
b.      Kedudukan Hak Ulayat dalam UUPA.
Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.
Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas". 
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-anggota masyarakat itu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2. 
Dalam UUPA dan Hukum Tanah Nasional, bahwasanya hak ulayat tidak di hapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E). [7]
2. Hak Gogolan.
Hak Gogolan adalah hak seorang gogol , atas apa yang dalam perundang-undangan agraria dalam zaman Hindia Belanda dahulu, disebut komunal desa. Hak gogolan ini sering disebut dengan hak sanggao atau hak pekulen. Sedangkan dalam kepustakaan Hukum Agraria Administrasi, hak gogolan tersebut disebut dengan hak Komunal (Comminal Bezit) yang dianggap sebagai tanah desa melalui usaha dari orang-orang tertentu, sedangkan tanahnya disebut dengan tanah gogolan atau tanah pekulen.
Mengenai hak gogolan tersebut dapat dibedakan menjadi dua jenis:
1.      Hak Gogolan Bersifat Tetap, yaitu hak gogolan, apabila para gogol tersebut terus menerus mempunyai tanah gogolan yang sama dan apabila si gogol meninggal dunia, dapat diwariskan kepada ahli warisnya yang tertentu untuk melanjutkannya, seperti istri dan anak-anaknya.
2.      Hak Gogolan Bersifat Tidak Kekal, yaitu hak gogolan, apabila para gogol tersebut tidak terus menerus mempunyai tanah gogolan yang sama atau apabila si gogol meninggal dunia, maka tanah gogolan tersebut kembali kepada desa.
Sehubungan dengan itu, maka dengan keputusan bersama Menteri Agraria dan Menteri Dalam Negeri tanggal 4 Mei 1965, Nomor, khususnya Diktum Ketiga, maka hak gogolan tidak tetap dapat dibedakan dalam tiga bentuk:
1)      Atok Sirah Gilir Galeng, yaitu hak gogolan, dimana hak mengggarap/menguasai tanah tersebut bersifat turun-temurun (Atok Sirah), tetapi tanah yang digarap/dikuasai berganti-ganti (Gilir Galeng).
2)      Gogol Musiman/Gogol Glebangan, yaitu hak gogolan, dimana hak menggarap tanah bersifat turun-temurun, tetapi pada suatu waktu yang menggarap hanya sebagian dari para gogol untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu diganti bagian yang lain selama waktu tertentu.[8]
3)      Gogol Milir Mati, hak gogolan, dimana hak menggarap tanah bersifat tetap, tetapi apabila si gogol meninggal, maka tanah yang digarap diserahkan kembali kepada magang gogol yang kedudukannya tertinggi dalam daftar urutan Ranglijst.[9]


3. Hak Anggaduh
Hak Anggaduh adalah hak untuk memakai tanah kepunyaan Raja. Menurut pernyataan ini, maka semua tanah Yogyakarta adalah kepunyaan Raja, sedangkan rakyat hanya menggaduh saja.
Tanah-tanah di daerah Yogyakarta adalah tanah-tanah yang berasal dari:
·         Hak-hak yang berasal bekas Hak Barat
·         Hak-hak yang berasal dari bekas Hak Swapraja.
Terhadap hak Anggaduh ini, dapat dibedakan menjadi:
·         Hak anggaduh yang bersifat tetap
·         Hak anggaduh yang bersifat tidak tetap.[10]

B. HAK BARAT
a.       sejarah terbentuknya hak barat.
            Sejarah hukum agraria Kolonial Belanda bermula dari berdirinya VOC sejak 1602 sebagai badan perdagangan. Pada akhir tahun 1794 badan perdagangan ini pecah sehingga menyerahkan daerah kekuasaannya pada Bataafse Republiek yang menguasai pemerintahan Indonesia sejak tahun 1800, yang kemudian berubah menjadi kerajaan Belanda sehingga menguasai pemerintahan daerah (Roestandi Ardiwilaga, 1962: 115).
            Tujuan utama dari kekuasaan itu adalah mengambil sebanyak-banyaknya kekayaan bumi Indonesia. Hal itu pada awalnya dilakukan dengan memungut pajak yang dibayar dengan hasil bumi. Hingga pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda menerapkan asas domein yang telah diatur dalam pasal 519 KUH Perdata. Bahwa setiap tanah ada yang memiliki, jika tidak ada yang memiliki maka tanah itu menjadi milik negara. Bagi pemerintahan Hindia Belanda bahwa tanah hak adat yang tidak mempunyai bukti tertulis adalah memilik negara.
b.      Macam-macam hak barat
Dalam buku II KUH Perdata tersebut terdapat beberapa jenis hak atas tanah barat yang dikenal yaitu:
1. Hak Eigendom.
                        Yang  dimaksud dengan hak eigendom adalah hak terhadap suatu benda (tanah) untuk dinikmati secara leluasa dan bebas mempergunakannya secara tidak terbatas, atau hak atas tanah yang pemiliknya mempunyai kekuatan mutlak atas tanah tersebut, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan hukum yang telah ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan tidak mengganggu hak orang lain.[11] Namun hak eigendom dapat dicabut demi kepentingan umum dengan ganti rugi yang layak berdasarkan ketentuan yang sah, sebagaimana dalam pasal 570 KUHPerdata. Sedangkan menurut R. Subekti dan Tjitrosubendo, hak eigendom adalah hak paling sempurna atas suatu barang. [12]
            Dengan demikian hak eigendom menurut KUHPerdata, isinya sama dengan hak milik dalam hukum adat, yang merupakan hak paling kuat dan tertinggi diantara hak yang lain.
2. Hak Opstal.
Hak opstal adalah suatu hak kebendaan untuk mempunyai atau mendirikan bangunan, pekerjaan atau tanaman diatas tanah milik orang lain dengan mendapatkan izin dari pemiliknya.[13]Hak opstal ini memberi wewenang kepada pemegang hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan termasuk tanaman tanah orang lain. Dengan demikian maka para opstaller punya wewenang diatas tanah orang lain, seperti:
a).    Memindah-tangankan benda yang menjadi haknya kepada pihak lain.
b).   Dapat dijadikan jaminan utang.
c).    Dapat diwariskan.

Syarat diperolehnya hak opstal ialah “adanya perjanjian dengan pemilik tanah dan harus dicatat dalam daftar umum ” yang mana hal itu diatur dalam pasal 713 BW, sehingga tanpa pendaftaran (inschrijving) hak opstal tidak pernah ada. Kedua belah pihak bebas menentukan perjanjian tentang pembayaran ganti rugi, baik mengenai jumlah maupun cara pembayaran, bahkan bangunan dan tanaman menjadi milik pemilik tanah dengan atau tanpa membayar harganya bila hak opstal berakhir.
Jangka waktu hak opstal dapat ditetapkan untuk waktu tertentu atau untuk selama-lamanya. Sebagai suatu hak kebendaan, hak opstal selain dapat dibebani hipotik juga dapat diserah lepaskan.
2.      Hak Erfpacht.
Hak erfpacht adalah hak kebendaan untuk mempergunakan benda tetap milik orang lain seperti mengelola tanah, atau menarik hasil sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut.[14]Bisa juga diartikan sebagai hak untuk mengambil manfaat seluas-luasnya dari tanah milik orang lain, yang diusahakan untuk waktu yang lama (pasal 720 KUHPerdata).[15]
Sesuai dengan pasal 721 KUHPerdata maka kepada Erfpachter diberikan wewenang yang sama dengan hak opstal, asal ia tidak berbuat sesuatu yang menimbulkan turunnya harga tanah atau mengerjakan penggalian batu, tanah liat, atau bahan alam semacam itu. Erfpachter juga harus wajib membayar sesuatu pacht (canon) setiap tahun. Sebagai pengakuan terhadap yang empunya seperti uang, atau hasil pendapatannya.
Hak ini harus dicatat dalam daftar umum untuk jangka waktu yang telah dijanjikan dan untuk tanah domein negara ditentukan paling lama 75 tahun. Hak erfpacht ini dapat dipindah tangankan dan dibebani dengan hipotik. Mengenai bangunan dan tanaman kepunyaan erfpachter setelah haknya berakhir bila tidak diambil maka akan menjadi milik pemilik tanah tanpa ganti rugi.
            Ada 3 jenis hak erfphact:
1)      Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar.
2)      Hak erfpacht untuk pertanian kecil.
3)      Hak erfpacht untuk perumahan.

3.      Hak Gebruik (Recht van Gebruik).
Hak gebruik , yaitu hak pakai atas tanah orang lain, sekedar buat keperluannya sendiri beserta keluarganya.
            Hak gebruik ini diatur oleh apa yang telah ditentukan sendiri dalam perjanjian kedua belah pihak. Tapi jika tidak ada perjanjian antara kedua belah pihak, maka berlakulah pasal 821 dan pasal-pasal yang berkaitan dengan hal itu dalam KUH Perdata.
Pasal 281 KUHPerdata  “ barang siapa mempunyai hak pakai atas sebuah pekarangan, hanya diperbolehkan menarik hasil-hasil dari pekarangan itu, sekedar dibutuhkan sendiri dan anggota keluarganya ”.

PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Hak adat ada 4: ulayat, yasan, gogol, anggaduh.
2.      Hak barat terbentuk atas tujuan Hindia Belanda untuk menguasai kekayaan bumi Indonesia dengan cara memberlakukan adanya pajak dan menerapkan asas domein.
3.      Hak barat diatur dalam KUH Perdata yang mengenai kebendaan.
4.      Hak-hak barat ada 4: eigendom, opstal, erfpacht, dan gebruik.


[1] Ali Ahmad Chomzah, Hukum Agraria, (Jakarta:Prestasi Pustakaraya, 2003), hal 79.
[2] Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik atas Tanah, (Jakarta:Penerbit Republik, 2008), hal 12.
[3] Ibid, hal 14.
[4] http://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/10/kedudukan-hak-ulayat-dalam-uupa.

[5] Ibid
[6] Ali Ahmad Chomzah, Hukum.............,hal 31.
[7] http://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/10/.................................
[8] Ali Ahmad Chomzah, Hukum.............,hal 119.
[9] Ibid,hal 120.
[10] Ibid, hal 130.
[11] Engelbrecht. Himpunan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. . Jakarta: PT.   Internusa. Hal. 437
[12]   R. Subekti dan Tjitrosudibio. Kamus Hukum. Jakarta : PT. Pradnya Pramita. Cetakan IX, Hal. 38
13    siti soetami. Pengantar Tata Hukum Indonesia. 2005. Bandung: Refika Aditama.
[14] Ibid
[15] Subekti dan Tijosubono, Op.cit. 39

No comments:

Post a Comment